Kamis, 16 Mei 2013

WAKAF DAN UANG TUNAI



Perbedaan Antara Wakaf Uang dan Wakaf Tunai
Realisasi penghimpunan dana wakaf di masyarakat masih ditemukan kerancuan antara wakaf uang dan wakaf tunai. Wakaf tunai sesungguhnya adalah wakaf barang melalui uang tunai. Sebagai contoh, seorang wakif menyetorkan sejumlah uang tunai ke rekening nazhir pada salah satu lembaga keuangan yang ditunjuk, baik swasta maupun pemerintah.

Namun pada umumnya secara tradisional  wakif membayar cash kepada lembaga atau panitia pembangunan yang menangani proyek tersebut. Selanjutnya dana yang terhimpun digunakan untuk membeli barang yang dibutuhkan, berupa tanah lahan, bahan bangunan, buku-buku perpustakaan, Al-Qur’an, dan lain sebagainya.



Berbeda dengan Wakaf Uang, berdasarkan pasal 28 UU No.41 tahun 2004, Bab kesepuluh, Wakaf Benda Bergerak Berupa Uang, wakaf uang hanya dapat disetorkan melalui Lembaga Keuangan Syari’ah (LKS) yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai Penerima Wakaf Uang (PWU). Wakif menyetorkan sejumlah uang tunai ke rekening nazhir yang  ada pada  LKS PWU dimaksud.

Dana yang terhimpun  kemudian dikelola secara produktif melalui investasi produk-produk LKS dan instrumen keuangan syari’ah lainnya baik disektor riil maupun finansial. Hasil pengelolaannya disalurkan sesuai dengan kehendak wakif kepada pihak-pihak yang berhak memanfaatkannya sebagai mauquf ‘alaih.

Lembaga Keuangan Syari’ah  Penerima Wakaf Uang yang telah ditunjuk oleh Menteri Agama 31 Juli 2008 ialah (LKS-PWU), BNI Syari’ah, Bank Syari’ah Mandiri (BSM), Bank Muamalat Indonesia (BMI), Bank DKI Syari’ah, dan Bank Mega Syari’ah.

Trobosan Baru Instrumen Wakaf Uang.
Wakaf uang tunai sudah membudaya di tengah kehidupan umat. Hampir disetiap masjid dan mushalla selalu disediakan kotak amal jariah, bahkan di beberapa restoran dan rumah makan sederhana juga disediakan kotak amal yang sama. Setiap orang dengan mudah memasukkan uang ke dalam kotak amal yang tersedia tanpa diminta saat masuk masjid atau keluar dari restoran.

Masjid-masjid yang berada di area pemukiman baru, terutama pemukiman elit, berpotensi cukup besar menghimpun dana wakaf, khususnya pada tiap hari jumat. Di wilayah perkotaan, sekali resepsi pernikahan pada umumnya menghabiskan  biaya puluhan juta. Jika setiap orang yang berhajat mempunyai komitmen menyisihkan sekian persen untuk dana wakaf, maka  setiap tahunnya di suatu kecamatan  atau kelurahan selalu ada aktivitas penghimpunan dana wakaf. 

Fatwa Majelis Ulama Indonesia  bulan Mei 2002. telah menetapkan kebolehan Wakaf Uang Tunai (Cash Wakaf/ Waqf al-Nuqud), termasuk di dalamnya  surat-surat berharga. Nilai pokok Wakaf Uang harus dijamin kelestariannya tidak boleh dijual, dihibahkan, dan atau diwariskan. Dengan demikian wakaf uang tunai boleh dikatakan sebagai dana abadi umat, dan merupakan potensi ekonomi umat jangka panjang.

Menghimpun dana wakaf uang tunai tidaklah sulit. Uang satu juta rupiah bagi kalangan tertentu dengan mudah dihabiskan dalam waktu satu hari. Jika uang sebesar itu diwakafkan oleh seratus orang, nilai nominalnya cukup besar.  Ir. Muhammad Syakir Sula dalam Jurnal al-Awqaf volume 04 berandai, jika  ada satu juta muslim mewakafkan  sebesar  Rp.100.000, maka akan  terkumpul Rp 100 milyar setiap bulan dan Rp.1,2 triliyun per tahun. Jika diinvestasikan dengan tingkat return 10 persen pertahun maka setiap bulan diperoleh penambahan dana wakaf sebesar Rp.10 milyar atau Rp. 120 milyar/tahun.

Peranan Perbankan Syari’ah dalam implementasi Wakaf Uang menurut Mulya Siregar ikut menentukan terwujudnya semua pengandaian tersebut. Lembaga Keuangan Syari’ah Penerima Wakaf Uang (LKS PWU) yang ditunjuk oleh Menteri Agama, adalah  Bank Muamalat Indonesia, Bank Syari’ah Mandiri, BNI Syari’ah, Bank DKI Syari’ah, Bank Mega Syari’ah, insya Allah menyusul Bank Syari’ah lainnya.

Dana wakaf uang yang dihimpun melalui LKS PWU, dijamin  aman karena Bank-bank Syari’ah tersebut  dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Mulya Siregar menambahkan, SDM Bank Syari’ah yang professional, diharapkan akan mampu mengelola dana yang terhimpun secara optimal, amanah, jujur dan transparan, melalui pembiayaan ke berbagai sektor riil yang halal.  Begitu juga dengan jaringan kantor Bank Syari’ah yang tersebar luas di wilayah tanah air, dengan fasilitas yang relativ lengkap seperti tersedianya jaringan ATM, SMS Banking, Internet Banking, Phone, dan fasilitas auto debet dari rekening nasabah.

Semua fasilitas perbankan yang tersedia, memudahkan masyarakat untuk melakukan setoran sejumlah uang tunai kepada nazhir yang dituju  melalui rekening giro atau tabungan wadi’ah pada Bank Syari’ah dimaksud. Para nazhir Wakaf Uang diharuskan membuka rekening  dalam bentuk tabungan atau deposito mudharabah pada LKS PWU, dengan nisbah bagi hasil yang disepakati kedua belah pihak. Bagi hasil akan diterima oleh Nazhir dari bank syari’ah, setelah dikurangi biaya operasional dan bagian untuk nazhir. Selanjutnya bagi hasil bersih akan disalurkan kepada pihak-pihak yang telah ditetapkan sebagai penerima manfaat atas wakaf uang (mauquf ‘alaih).

Nazhir Wakaf Profesional
Dokumen wakaf yang ditulis oleh Umar radhiyallahu anhu, mengisyaratkan beberapa unsur produksi, yaitu tanah, pengelola wakaf (nazhir) dan para penggarap  lahan pertanian. Tidak diragukan lagi bahwa unsur modal merupakan sesuatu yang sangat vital dibutuhkan, sekalipun tidak disebutkan secara eksplisit. Sebab bekerja dalam pertanian membutuhkan alat bajak, benih, sapi, dan lain-lain yang masuk dalam kategori modal.

Sementara Nazhir wakaf dinilai sebagai unsur dasar dari beberapa unsur kegiatan ekonomi tersebut (wakaf). Karena itu keberadaan nazhir menjadi keharusan jika ditentukan oleh wakif. Jika tidak, pengawasan wakaf ditangan maukuf ‘alaih, atau langsung oleh pemerintah. Bahkan sebahagian Ulama berpendapat bahwa bila wakif mensyaratkan agar wakafnya sama sekali tidak dikelola oleh nazhir, maka syarat ini tidak bernilai.

Keberadaan Nazhir sebagai pihak yang diberi kepercayaan dalam mengelola harta wakaf sangatlah penting. Sekalipun para Ulama sepakat tidak menjadikan nazhir sebagai salah satu rukun wakaf, namun mereka sepakat bahwa wakif harus menunjukkan nazhir wakaf baik yang bersifat perorangan maupun kelembagaan (berbadan hukum). Nazhir diperlukan agar harta wakaf tetap terjaga dan terurus serta tidak diterlantarkan.

Selain persyaratan nazhir sebagaimana dibahas dalam kitab-kitab Fiqh, menurut Fathurrahman Jamil, ada tiga persyaratan utama nazhir wakaf yang professional. Pertama, syarat moral, meliputi pemahaman atau ilmu tentang hukum wakaf dan ZIS baik dalam tinjauan syar’iy maupun perundang-undangan, kejujuran, kecerdasan, kesungguhan, sabar dan  tahan godaan. Kedua, syarat manajemen, meliputi leadership, visioner, professional, dan ada masa bhakti nazhir. Ketiga, syarat bisnis meliputi adanya kemauan yang keras, kesiapan dan ketajaman melihat peluang usaha sebagaimana layaknya entrepreneur.

Penutup
Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai sebuah lembaga independen yang dilahirkan oleh UU No.41 Tahun 2004, selain memilki tugas dan wewenang untuk melakukan pembinaan terhadap nazhir dalam mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai amanah UU, juga berupaya untuk meningkatkan kesadaran dan kemauan masyarakat untuk berwakaf, sebagai realisasi visi dan misi BWI. Sekaligus BWI merupakan wadah kerjasama nazhir atau umat pengelola aset wakaf, baik nazhir perorangan, nazhir organisasi dan nazhir berbadan hukum.

Pencanangan “Gerakan Nasional Wakaf Uang” oleh Presiden Republik Indonesia di Istana Negara Januari 2010 yang digagas oleh Badan Wakaf Indonesia (BWI) Pusat, perlu terus menerus digalakkan dengan beberapa langkah.

Pertama, melibatkan seluruh komponen bangsa, dan para pemangku kebijakan di negri ini baik di lembaga-lembaga pemerintahan maupun swasta, di pusat maupun di daerah, untuk berperan aktif mendorong mobilisasi dana wakaf uang. Meningkatkan budaya beramal jariah yang telah mengakar dalam masyarakat dan menggali potensi wakaf dalam tubuh umat.

Kedua, melakukan sosialisasi dan pembinaan nazhir secara terus menerus melalui lembaga-lembaga pendidikan, pesantren, masjid, ormas Islam, dan badan hukum pemilik aset wakaf.

Ketiga, kerjasama dengan berbagai pihak dalam mengembangkan proyek-proyek percontohan berskala kecil yang langsung menyentuh kehidupan  ekonomi umat di tingkat masyarakat kelas menengah ke bawah.

Keempat, memanfaatkan dana wakaf uang seoptimal mungkin untuk membantu kelompok usaha mikro kecil menengah kebawah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar