WAKAF
A.
Latar Belakang Masalah
Problem
sosial yang terjadi pada masyarakat sekarang ini dapat diatasi antara lain
dengan hasil waqaf sebagai institusi sosial yang sangat strategis. Waqaf
disamping salah satu aspek ajaran islam, juga merupakan ajaran yang menekankan
pentingnya mewujudkan kemashlahatan ,baikuntukmasyarakat terbatas maupun luas
yang berkesinambungan,oleh karena itu pengkajian ulang terhadap konsep waqaf
agar memiliki makna yang lebih releven dengan kondisi riil masyarakat menjadi
sangat penting.
Fiqih
waqaf menjelaskanbahwa waqaf adalah suatu pemberian yang pelaksanaannya
dilakukan dengan cara menahan pokoknya dan mendermakan hasilatau
manfaanyakepada masyarakat, yang mana
ta’rip ini berasal dari petunjuk Nabi ,sedangkan cara penggunaan dan
pemanfaatannya diorientasikan pada sector-sektor kebajikan dan kemashlahatan sesuai dengan
kehandak pewaqaf yang tertuang
dalamikrarnya tanpa mengharap imbalan.
Waqaf
juga berperan sangat besar untuk kepentingan masyarakat, baik dalam
memfasilitasi kegiatan keagamaan dan social maupun kegiatan-kegiatan akademik
lainnya.
B. Rumusan
Masalah
Adapun
rumusan masalah makalah ini adalah
1.
Apakah
yang dimaksud dengan waqf, dasar hukum waqaf, pembagian waqaf, rukun dan syarat
waqaf ?
2.
Bagaiman
penerapan waqaf pada zaman dahulu dan yang akan datang?
C.
Tujuan Penulisan Makalah
1.
Mengetahui apaitu waqaf, dasar hukum waqaf, pembagian waqaf,rukun dan
syarat waqaf.
2. Mengetahui seluk beluk waqaf pada zaman
dahulu dan yang akan datang.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Wakaf
Menurut
bahasa wakaf berasal dari waqf yang berarti radiah ( terkembalikan ), al-tahbis
( tertahan ), al-tabsil ( tertawan ), dan al-man’u ( mencegah ). Kata waqaf sendiri
berasal dari kata kerja yaitu waqafa (
fi’il madhi ), yaqifu ( fi’il
mudhari’ ), waqfan ( isim mashdar )
yang berarti berhenti atau berdiri dan menahan.
Waqaf
pada lughat adalah menahan atau mengekang harta, seperti saya mewaqafkan harta
binatang ternak saya ini, dan pada syarah disisi abu hanifah adalah penetapan
atau menahan harta atas kepemilkan si waqif itu, dan sedangkan yang diambil itu
manfaatnya.
Sedangkan menurut istilah syara’ yang
dimaksud dengan wakaf sebagai yang didefinisikan oleh para uama adalah sebagai
berikut.
1. Muhammad al-Syarbini al-kitab
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan waqaf ialah:
2. حبس ما ل يمكن
الإنتفاع به مع بقاء عينه بقَطع التصرف في رقبته على مصرف مباح موجود
“Penahana
harta yang mungkin untuk dimanfaatkan
disertai dengan kekalnya zat benda dengan memutuskan ( memotong ) tasharruf ( pengelolaan
)dalam penjagaannya atas musyrif ( pengelola ) yang dibolehkan adanya”
2. Iman Taqiy al- Din Abi Bakr bin Muhammad
al-Husaeni dalam kitab kifayatul al-Akhyar berpendapat bahwa yang
dimaksud dengan wakaf adalah:
3. ممنوعٌ من التصرف في
عينه و تصرف منا فعه في البر تقربا إلى الله تعالى
“ Penahanan harta yang memunkinkan untuk dimanfaatkan
dengan kekalnya benda (zatnya ), dilarang untuk digolongkan zatnya dan dikelola
manfaatnya dalam kebaikan untukmende katkan
diri kepada allah swt.
4. Ahmad Azhar Basyir berpendapat bahwa
yang dimaksud dengan wakaf adalah menahan harta yang dapat diambil manfaatnya
tidak musnah seketika, ddan untuk penggunaan yang dibolehkan, serta dimaksudkan
dlam mendekatkan diri kepada allah swt.
Menurut ulama fiqih yang terkenal dimasa dulu sampai
sekang yaitu ulama Syafiiyah mengartikan
wakaf sebagai menahan harta yang bisa memberi manfaat serta kekal bendanya
dengan cara memutuskan hak pengelolaan yang dimiliki oleh wakif
untuk diserahkan kepada nadzir yang dibolehkan oleh syariah. Mazhab ini
mensyaratkan harta yang diwakafkan harus harta yang kekal bendanya, yang
berarti harta yang tidak mudah rusak atau musnah serta dapat diambil manfaatnya
terus-menerus.
Dari definisi-definisi yang telah dijelaskan oleh
para ulama diatas, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan waqaf itu
adalah menahan sesuautu benda yang kekal zatnya, dan memungkinkan untuk diambil
manfaatnya guna diberikan dijalan kebaikan.
B.
Sejarah perkembangan Waqaf
Dalam sejarah pembinaan hukum Islam, amal wakaf
telah dikenal semenjak masa Rasulullah, walaupun pada saat itu belum
menggunakan term tersebut. Selanjutnya para Ulama berbeda pendapat mengenai
siapa orang yang pertama melaksanakan praktik waqaf, sebagian meraka mengatakan
Rasulullah adalah orang yang pertama melaksanakan praktik waqaf, sedangkan yang
lain mengatakan Umar Bin Khatab. Perbedaan pendapat ini bersumber dari perbedaan
Ulama sahabat, seperti dikemukakan oleh Al-Syaukani dalam kitabnya Nail
Al-Authar
bahwa menurut kaum Anshar orang yang mula-mula melaksanakan praktik waqaf
adalah Rasulullah sedangkan menurut kaum Muhajirin Umar Bin Khatab.
Perselisihan ini terkait dengan persoalan sejarah
wakaf produktif yang dipraktikkan oleh
Rasulullah berupa tujuan lokasi
perkebunan korma yang sangat terkenal, yaitu al’araf, al-shafiyah, al-dalal,
al-misyab dengan waqaf yang dipraktikkan oleh
Umar Bin Khatab dikawasan Khaibar. Waqaf yang dipraktekkan oleh
Rasulullah berasal dari Muhairiq, seseorang Yahudi yang gugur dalam perang Uhud
sementara waqaf produktif yang dilakukan oleh Umar bin Khatab adalah sejumlah kafling yang diperoleh
sesudah penaklukan wilayah itu. Apabila dilihat dari asfek historis tentunya
sudah jelas, karena perang Uhud terjadi pada tahun ketiga hijriyah sedangkan
perang Khaibar terjadi pada tahun ketujuh, dengan demikian perselisihan
mengenai siapa orang yang pertama melaksanakan praktik waqaf tentu dapat
diselesaikan, yaitu Rasulullah, kemudian Umar bin Khattab.
Ibnu Hisyam menjelaskan secara kronologis mengenai terjadinya penyerahan harta milik
Muhairiq kepada Rasulullah SAW. Keduanya adalah pemimpin umat yang saling
mengenal, Muhairiq seorang Ulama Yahudi yang terkenal alim dan kaya, memiliki
bnyak harta dan kebun korma,sementara Rasulullah adalah pemipin yang sudah
terkenal kepiawaiannya oleh masyarakat dan Muhairiq sangat menghormatinya.
Ketika perang uhud terjadi, hari itu adalah hari sabtu, Muhairiq berpesan
kepada kaumnya agar dalampeperangan ini mendukung perjuangan Rasulullah. Ketika
bergegas hendak berangkat ke uhud, ia berpesan bahwa apabila nanti ia tidak
kembali (gugur), supaya hartanya diserahkan kepada Rasulullah dan terserah
digunakan untuk apa yang dipandang baik menurut pandangan Allah.
Menurut AL-waqidi
bahwa Muhairiq menyerahkan hartanya sebelum kepergiannya ke Uhud, waktu
ia belum memeluk Islam, dengan demikian Muhairiq tidak disebut-sebut sebagai
pewaqaf pertama lantaran yang bersangkutan berbeda Agama (orang Yahudi) dan
penyerahan hartanya kepada Nabi dilakukan sebelum perang uhud.Tetapi menurut
Ibnu Hisyam penyerahan Muhairiq bersifat wasiat,bukan penyerahan bersifat
langsung, sehingga Rasulullah posisinya sebagai penerimaan wasiat yang
berwenang menyalurkan harta sesuai dengan wasiatnya. Artinya perpindahan
kekuasaan harta Muhairiq kepada kepada Rasulullah terjadi setelah peristiwa
kematian Muhairiq, yaitu seusai perang Uhud dan Muhairiq ternyata gugur dalam peperangan
tersebut.
Dari uraian tersebut terjadi penafsiran yang berbeda
sehingga penulis sejarah tidak menyebut-nyebut Muhairiq sebagai seorang
pewaqaf, mungkin hartanya dianggap sebagai harta tak bertuan sehingga setelah
pemiliknya meninggal dunia dikuasai oleh Rasulullah dan disalurkan sesuai
dengan isi wasiatnya. Tetapi apabila dilihat dari isi wasiat secara utuh
kiranya dapat diketahui bahwa Muhairiq menyerahkan hartanya kepada Rasulullah
bukan untuk dimiliki, tetapi untuk kepentingan umum (amal sosial) sebagai mana
yang dikemukakan oleh Muhairiq.
Perselisihan berikutnya terkait dengan sejarah waqaf
non produktif, dalam sejarah pembinaan hukum Islam telah terjadi
kesimpangansiuran riwayat mengenai
siapakah orang yang membebaskan sebidang tanah kosong dipusat kota
Yastrib yang kemudian digunakan untuk membangun komplek penyebaran islam Islam
disana (Masjid Nabawi). Menurut Husain Haikal, Rasulullah membelinya sendiri
dari kedua anakyatim bernama Sahl dan Suhail, keduanya putra Amr yang telah
meninggaldunia. Sementar Ibnu Hisyam tidak tegas menyebutkan apakah tanah
tersebut dibeli oleh Rasulullah, atau salah seorang sahabat, atau bahkan
merupakan jariyah (shadaqah) dari
keluarga kedua anak yatim tersebut. Ibn
Hisyam hanya menyebutkan bahwa Muaz bin
Afra, wali kedua anak yatim tersebut telah mengizinkan Rasulullah untuk
membangun sebuah masjid ditempat itu, tanpa memberikan penjelasan secara rinci
bagaimana proses perizinan terjadi. Ibnu Hisyam hanya menjelaskan bahwa setelah
mendapatkan izin dari walinya, Rasulullah langsung menggerakkan kaum Anshor dan
Muhajirin untuk membangun masjid secara bergotong royong .
Mengenai kemungkinan waqaf dari keluarga kedua anak
yatim tersebut didukung adanya sebuah riwayat Imam Bukhari dari Anas bin Malik
yang menjelaskan bahwa tanah masjid berasal Bani Najjar, keluarga dari kedua
anak yatim,bukan dari orang lain. Anas bin Malik menjelaskan secara
kronologis proses terjadinya waqaf,bahwa
ketika Rasulullah sampai di Madinah beliau ingin segera membangun sebuah masjid
kemudian meminta kepada keluarga Bani Najjar untuk menentukan harga tanahnya,
tetapi keluarga Banni Najjar tidak mau menerima uang pembayaran dari Rasulullah
melainkan untuk beramal waqaf. Dari penuturan ini dapat dapat disimpulkan bahwa
tanah kosong tempat penjemuran kurma yang dijadikan tempat pembangunan mesjid
Nabawi adalah waqf dari kedua keluarga tersebut.
Perselisihan selanjutnya mengenai siapa orang
pertama yang elakukan praktek waqaf (non
produktif) disepakati bahwa tepat beribadatan pertama yang dibangun oleh kaum
muslimin adalah masjid quba, mesjid ini dibangun oleh Rasulullah dan sahabatnya
ketika beliau sedang dalam perjalanan hijrah ke Madinah. Dilihat dari asfek
hukumnya, tidak ada perselisihan bahwa pembangunan masjid adalah praktik waqaf
yang sah. Namun menjadi pertanyaan adalah tanah milik siapakah yang digunakan
untuk membangun masjid tersebut.
Ilyas Abdul Ghani, seorang penulis kotemporer
menjelaskan secara kronologis bahwa Rasulullah dalam perjalanannya menuju
Madinah singgah terlebih dahulu kerumah Kalsum bin al-Hidm di Quba, sebuah desa
di Madinah. Di desa itu Rasulullah sempat membangun sebuah masjid diatas tanah
peletaran milik tuan rumahnya. Dalam pelaksanaan pembangunan masjid, Rasulullah
turun tangan bersama para sahabat baik dari kalangan anshor maupun muhajirin.
Dari uraian tersebut tampak sangat sulit untuk
menentukan siapa orang pertama melaksanakan praktek waqaf (non produktif),
berdasarkan riwayat tersebut dapat diduga bahwa oranga pertama yang
melaksanakan praktik waqaf adalah Kultsum bin Hidm, seorang penduduk Quba yang
menyediakan peralatannya untuk pembangunan masjid. Namun demikian tidaklah
mustahil apabila ada sahabat lain yang turut berpartisipasi dalam pembebasan
tanah peralatan tersebut, yang sudah pasti adalah dalam pembangunan mesjid
banyak orang yang berpartisipasi sehingga masjid dapat terwujud dalam waktu
singkat.
Terlepas dari perselisihan mengenai siapakah orang pertama yang
melaksanakan praktik waqaf, kiranya dapat dikemukakan bahwa waqaf non produktif
yang pertama dalam Islam adalah waqaf pembangunan masjid quba, kemudian
pembangunan masjid Nabawi. Pebangunan kedua masjid tersebut oleh kaum muslimin
secara bergotong royong. Sedangkan waqaf produktif yang pertama dilaksanakan
oleh Rasulullah berupa tujuh bidang tanah perkebunan yang berasal darri
muhairiq, atau muhairiq sendiri sebagai pewaqaf pertama, kemudian waqaf Umar
bin Khatab dikawasan khaibar yang jumlahnya mencapai 100 kafling,, waqaf
Rasulullah atau Muhairiqterjadi pada tahun ketiga hijriyah,sedangkan waqaf Umar
bin Khatabterjadi pada tahun ketujuh hijrah.
Pada masa sahabat amal waqaf berkembang
pesa,diperaktikan oleh hampir seluruh sahabat. Seorang shabat bernama Jabir
mengatakan bahwa sahabat Rasul yang mampu semuanya melaksanakan praktik waqaf.
Sa’ad bin Zurarah juga mengatakan hal yang sama, bahwa sahabat-sahabat Rasul
yang urut erperang badar, baik dari kalngan Anshor maupun Muhajirin semuanya
melaksanakan praktik waqaf.
Penggunaan harta waqaf pada umumnya berupa lahan
pertanian yang subur pada masaawal Islammampu menunjang kehidupan masyarakat
dan mencangkup berbagai kebajikan, Ibnu Umar memberikan laporan yang rinci
mengenai penggunaan hasilwaqaf dari 100 kafeling dikawasan khaibar yang
dikelolanya . Periode berikutnya, Al-khasshaf menyebutkan nama-nama thabi’in
yang melaksanakan praktik waqaf,antara lain Abu Ja’far mewaqafkan hartanya
untuk peningkatankesejahteraan hamba sahaya,serta Umrah binti Abdurrahman
mewaqafkan hartanya untukpeningkatan kesejahteraan keluarga dan masyarakat .
Pemanfaatan pada periode ini semakin luas, tidak
terbatas pada pada pemberian bantuan kaum dhuafa saja, tetapi meluas pada
pembangunan lembaga dan instansi seperti
markastentara, asrama haji di Mekkah tempat peribadahan (Masjid), dan fasilitas
lainnya yang menjadi kebutuhan kaum usliin secara umum.
Praktik waqaf menjadi lebih luas pada masa dinasti
Umayyah dan dinasti Abbasiyyah, semua orang berduyun-duyun untuk melaksanakan
waqaf, dan waqaf tidak hanya untuk ornag-orang fakir dan orang miskin saja,
tetapi waqaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan,mebangun
perpustakaan dan membayar gaji para
stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswanya.
Antusiasme masyarakat kepada pelaksanaan waqaf telah menarik perhatian Negara
untuk mengatur pengelolaan waqaf sebagai
sector untuk mebangun solidaritas social
dan ekonomi masyarakat.
Pada masa dinasti Umayyah yang menjadi hakim Mesir
adalah Taubah bin Ghar al-Hadramy pada asa khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Ia
sangat perhatian dantertarik dengan pengembangan waqaf sehingga
terbentuklembaga waqaf tersendiri sebagimana lembaga lainnya dibawah pengawasan
hakim. Lembaga waqaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi
waqaf di Mesir,bahkan diseluruh Negara Islam. Pada saat itu juga ,hakimTaubah
mendirikan lembaga waqaf di Bashrah.Sejakitulah pengelolaan lembaga waqaf dibawah departemen Kehakiman yang dikelola
dengan baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada masa dinasti Abbasiyah terdapat lembaga waqaf
yang disebutdengan “Shadr al-Wuquuf”, yang mengurus administrasi dan memilih
staf pengelola lembaga waqaf. Demikian perkembangan waqaf pada masa dinasti
Umayyah dan Abbasiyah Yang manfaatnya dapat dirasakan oleh masyarakat, sehingga
lembaga waqaf yang berkembang searah
dengan pengaturan administrasinya.
Perkembangan berikutnya yang dirasa manfaat waqaf
telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski
tidak diketahui secara pasti awal mula disahkannya undang-undang waqaf. Sejak
abad ke lima belas,kerajaan Turki Usmani dapat memperluas wilayah
kekuasaannya,sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayahnegara Arab.
Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis mempermudah
untuk menerapakan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang
perwaqafan. Diantara Undang-undang yang dikeluarkan pada masa dinasti Utsmani
ialah peraturan tentang pembukuan
pelaksanaan waqaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280
Hijriyah. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan waqaf, sertifikasi
waqaf, cara pengelolaan waqaf, upaya mencapai tujuan waqaf dan melembagakan
waqaf dalam upaya realisasi waqaf dari sisi administrative dan
perundang-undangan.
Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan undang-undang
yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah produktif yang berstatus waqaf.
Dari implementasi undang-undang tersebut
di Negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan
dipraktekkan sampai saat sekarang.
Sejak masa Rasulullah,masa kekhalifahan dan masa
dinasti-dinasti Islam sampai sekarang
waqaf masih dilaksanakan dari waktu ke waktu diseluruh negara muslim,termasuk
di Indonesia sendiri.
C.
Dasar Hukum Waqaf dan Kedudukan waqaf
Para
Ulama mengemukakan beberapa ayat Alquran dan Hadits sebagai dasar hukum waqaf
1) Dasar dari Alquran
Diantara
ayat Alquran yang dijadikan dasar hokum
pelaksanaan waqaf adalah
Surat Ali Imran : 92
عَلِيمٌ بِهِ اللَّهَ فَإِنَّ شَيْءٍ مِنْ تُنْفِقُوا وَمَا تُحِبُّونَ مِمَّا تُنْفِقُوا حَتَّى الْبِرَّ تَنَالُوا لَنْ
Artinya
: “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu
menafkahkan sebahagiaan harta yang yang
kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan dari hal kebajikan, maka
sesungguhnya Allah mengetahuinya”.
Dalam ayat diatas menjelaskan bahwa amalan waqaf
termasuk amalan yang amat besar pahalanya menurut ajaran Islam, hamprr seluruh
amalan seseorang akan terhenti atau putus pahalanya bila orang itutelah
meninggal dunia, sedangkan waqf akan tetap mengalir pahalanya dan tetap
diteriama oleh waqif walaupu telah meninggal dunia, selain itu hadits Nabi juga
menjelaskan tentang dasara hukum waqaf
sebagai mana di terangkan:
عن ابي هريرة رضي الله عنه انَ رسول الله صلى الله عليه وسلم قا ل : إذ
مات الإنسان انقطع عمله إلا من ثلاث صدقة جارية أو علم ينتفع به أو ولد صالح
يدعوله
Artinya:
Dari
Abu Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah bersabda : Apabila manusia meninggal
dunia,putuslah pahala semua semua amalnya, kecuali tiga amal yaitu : sedakah
jariyah (waqaf), ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang selalu
mendoakan kedua orang tuanya.(HR.Bukhari)
Sedekah jariyah
disini adalah sedekah harta yang tahan lama atau yang lama dapat diambil
manfaatnya untuk tujuan kebaikan yang di Ridhai oleh Allah SWT,
seperti menyedekah kan tanah untuk mendirikan masjid,rumah sekolah, dan
sebagainya, sehingga para ulama sepakat bahwa yang dimaksud sedekah jariyah
disini adalah amalan waqaf.
D.
Ketentuan-ketentuan Wakaf
Menurut
Ahmad Azhar Basyir berdasarkan hadist yang berisi tentang wakaf Umar r.a. Maka diperoleh ketentuan-ketentuan
sebagai berikut:
1. Harta waqaf itu harus tetap ( tidak
dapat dipindahkan kepada orang lain ), baik dijualbelikan, dihebahkan, maupun
diwariskan.
2. Harta waqaf terlepas dari pemilikan orang
yang mewaqafkannya.
3. Tujuan waqaf itu harus jelas ( terang )dan
termasuk dalam perbuatan baik menurut ajaran agama islam.
4. Harta waqaf dapat dikuasakan kepada
pengawas yang memiliki hak ikut serta dalam dalam harta waqaf sekedar perlu
tidak berlebihan.
5. Harta waqaf itu dapat berupa tanah dan
sebagainya, yang tahan lama dan tidak mudah rusak dalam sekali pakai atau
digunakan.
E.
Rukun dan Syarat Wakaf
Pembahasan tentang rukun dan syarat dijelaskan
rukunnya kemudian dijelaskan syarat-syaratnya yang berkaitan dengan rukun
tersebut. Karena dalam wakaf ada syrat-syarat yng bersifat umum, maka akan
dijelaskan yarat-syarat umum terlebih dahulu kemudian dijelaskan rukun-rukunya
dan syarat-syaratnya yang berkaitan dengan rukun tersebut.
Syarat
syarat wakaf yang bersifat umum adalah sebagai berikut
1. Wakaf tidak dibatasi dengan waktu
tertentu sebab perbuatan wakaf berlaku untuk selamanya, tidak untuk waktu
tertentu. Bila seseorang mewaqafkan kebun atau tanah untuk jangka selama 10
tahun, maka waqaf tersebut dipandang
batal.
2. Tujuan wakaf harus jelas seperti
mewakafkan sebidang tanah untuk mesjid, mushalla, pesantren, atau peruburan
hokum. Namun, apabila seseorang mewaqafkan sesuatu kepada hokum tanpa
menyebutkan tujuannya, maka hal itu
dipandang sah, sebab penggunaan benda tersebut menjadi wewenag bagi lembaga
hokum yang menerima harta-harta waqaf tersebut.
3. Wakaf harus segera dilaksanakan setelah
dinyatakan oleh orang yang mewakafkan.
Bila waqaf digantungkan dengan kematian yang memawaqafkan, ini bertalian
dengan wasiat dan tidak bertalian dengan waqaf.
4. Wakaf merupakan perkara yang wajib
dilaksanakan tanpa adanya hak khiar (membatalkan wakaf ) sebab pernyataan wakaf
berlaku seketika dan untuk selamanya
5. Hendaklah jelas kepada siapa diwaqafkan.
Kalau dia berkata,“ saya waqafkan rumah ini“, waqaf tersebut tidak sah karena
tidak jelas kepada siapa diwaqafkan rumah tersebut.
Rukun-
rukun wakaf adalah
a. Orang yang berwakaf ( wakif )
·
Berhak
berbuat kebaikan
·
Kehendak
sendiri bukan karena paksaan
b. Harta yang diwakafkan ( maukuf )
·
Kekal
zatnya,. Berarti bila manfaatnya diambil, zat barang itu tidak rusak.
·
Kepunyaannya
yang diwakafkannya
c. Tujuan wakaf ( maukuf`alaih )
d. Pernyataan wakaf ( sighat wakaf )
Syarat-syarat yang berkaitan dengan mewaqafkan( waqif
) ialah si waqif mempunyai kecakapan melakukan tabarru’. Yaitu melepaskan
hak milik tanpa ada imbalan material. Orang yang dikatakan dengan cakap
bertindak tabarru’ adalah baligh, beakal
sehat dan tidak keterpaksaan dalam mewaqafkan harta tersebut.
Dalam fiqih islam dikenal dengan baligh dan Ryasid , baigh,dititik
beratkan pada umur dan ryasid dititk beratkan pada kematangan pertimbangan
akal, maka akan dipandang tepat bila dalam cakap bertabrau disyariatkan rasyid,
yang dapat ditentukan dengan penyelidikan.
Syarat orang yang berwaqaf itu harus benar-benar
keyakinannya dan tidak ada keragu-raguan dalan melaksanakan waqaf
tersebut. Benda yang diwaqafkan itu yang
bisa diambil manfaatnya selama benda tersebut tidak berubah dan hancur. Dan tidak dikatakan waqaf jika benda tersebut
cepat habis atau cepat rusak seperti
nasi, wangi-wangian sebab keduanya manfaatnya cepat habis, maka kedua ini
dinamakan shadaqah saja bukan shadaqah jariah (waqaf). Akan tetapi sah mewaqafkan tanah atau kebun,
rumah, bumi menurut para pendapat yang shahih dan ijma para ulama terdahulu.
Syarat-syarat yang berkaiatan dengan harta yang
ingin diwaqafkan ialah bahwa harta waqaf
( mauquf ) merupakan harta yang bernilai, milik yang mewaqafkan ( waqif
), dan tahan lama untuk digunakan atau manfaatnya dapat diambil dalam jangka panjang.
Harta waqaf dapat juga berupa uang, yang dimodalkan,berupa saham bagi
perusahaan, dan berupa apa saja yang lainnya. Hal yang penting pada harta yang
berupa modal adalah dikelola dengan baik dan sedemikian rupa ( semaksimal
mungkin ), sehingga mendatangkan kemaslahatan dan keuntungan untuk ditasharruf
kan pada jalan kebikan dengan kebaikan bersama.
F.
Macam-macam wakaf
1.
Wakaf Ahli
wakaf ahli yaitu wakaf yang ditunjukksn kepada
orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakaf atau bukan. Wakaf
ini juga disebut wakaf Dzurri.
Apabila ada seseorang mewakafkan sebidang tanah
kepada anaknya, lalu kepada cucunya, wakafnya sah dan yang berhak mengambil
manfaatnya adalah mereka yang ditunjuk dalam pernyataan wakaf.Wakaf jenis ini
(wakaf ahli/dzurri) kadang-kadang juga disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf yang diperuntukkan bagi kepentingan dan
jaminan social dalam lingkungan keluarga (famili), lingkungan kerabat sendiri.
Wakaf untuk keluarga ini secara hukum islam
dibenarkan berdasarkan Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
dari Anas bin Malik tentang adanya wakaf keluarga Abu Thalhah kepada kaum
kerabatnya. Di ujung Hadits tersebut dinyatakan sebagai berikut:
Artinya: Aku telah mendengar ucapanmu tentang hal
tersebut. Saya berpendapat sebaiknya kamu memberikannya kepada keluarga
terdekat.Maka Abu Thalhah membagikannya untuk para keluarga dan anak-anak
pamannya.
Dalam satu segi, wakaf ahli ini baik sekali, karena
si wakaf akan mendapat dua kebaikan, yaitu kebaikan dari amal ibadah wakafnya,
juga kebaikan dari silaturahmi terhadap keluarga yang diberikan harta wakaf.
Akan tetapi, pada sisi lain wakaf ahli ini sering menimbulkan masalah, seperti:
bagaimana kalau anak cucu yang ditunjuk sudah tidak ada lagi (punah) ?siapa
yang berhak mengambil manfaat benda (harta wakaf) itu? Atau sebaliknya,
bagaimana jika anak cucu si wakif yang menjadi tujuan wakaf itu berkembang
sedemikian rupa, sehingga menyulitkan bagaimana cara meratakan pembagian hasil
harta wakaf?
Untuk mengantisipasi punahnya anak cucu (keluarga
penerima harta wakaf) agar harta wakaf kelak tetap bias dimanfaatkan dengan
baik dan berstatus hukum yangjelas, maka sebaiknya dalam ikrar wakaf ahli ini
disebutkan bahwa wakaf ini untuk anak, cucu, kemudian kepada fakir miskin.
Sehingga bila suatu ketika ahli kerabat ( penerima wakaf) tidak ada lagi
(punah), maka wakaf itu bisa langsung diberikan kepada fakir miskin. Namun,
untuk kasus anak cucu yang menerima wakaf ternyata berkembang sedemikian banyak
kemungkinan akan menemukan kesulitan dalam pembagiannya secara adil dan merata.
Pada perkembangan
selanjutnya, wakaf ahli untuk saat ini dianggap kurang dapat memberikan
manfaat bagi kesejahteraan umum, karena
sering menimbulkan kekaburan dalam pengelolaan dan pemanfaatan wakaf oleh
keluarga yang diserahi harta wakaf. Dibeberapa Negara tertentu, seperti: Mesir,
Turki, Maroko dan Aljazair, wakaf untuk keluarga (ahli) telah dihapuskan,
karena pertimbangan dari berbagai segi, tanah-tanah wakaf dalam bentuk ini
dinilai tidak produktif. Untuk itu dalam pandangan KH. Ahmad Azhar Basyir MA,
bahwa keberadaan jenis wakaf ahli ini sudah selayaknya ditinjau kembali untuk
dihapuskan.
2.
Wakaf Khairi
Wakaf khairi adalah wakaf secara tegas untuk
kepentingan agama atau kemasyarakatan (kebajikan umum).
Seperti wakaf yang diserahkan untuk
keperluan pembangunan mesjis, sekolah, jembatan, rumah sakit, panti asuhan anak
yatim dan lain sebagainya.
Jenis wakaf ini seperti yang dijelaskan dalam Hadits
Nabi Muhammad SAW yang menceritakan tentang wakaf Sahabat Umar bin Khatab.
Beliau memberikan hasil kebunnya kepada fakir miskin, ibnu sabil, sabilillah,
para tamu, dan hamba sahaya yang berusaha menebus dirinya.Wakaf ini ditunjukkan
kepada umum dengan tidak terbatas penggunaannya yang mencakup semua aspek untuk
kepentingan dan kesejahteraan umat manusia pada umumnya.Kepentingan umum
tersebut bisa untuk jaminan social, pendidikan, kesehatan, pertahananan,
keamanan, dan lain-lain.
Dalam tinjauan penggunaannya, wakaf jenis ini jauh
lebih banyak manfaatnya dibandingkan dengan jenis wakaf ahli, karena tidak
terbatasnya pihak-pihak yang ingin mengambil manfaat.Dan jenis wakaf inilah
yang sesungguhnya paling sesuai dengan tujuan perwakafan itu sendiri secara
umum. Dalam jenis wakaf ini juga, si wakif
( orang yang mewakafkan harta) dapat mengambil manfaat dari harta yang
di wakafkan itu, seperti wakaf mesjid maka si wakif boleh saja di sana, atau
mewakafkan sumur, maka siwakif boleh mengambil air dari sumur tersebut
sebagaimana pernah dilakukan oleh Nabi dan Sahabat Ustman bin Affan.
Secara substansinya, wakaf inilah yang merupakan
salah satu segi dari cara membelanjakan (memanfaatkan) harta dijalan Allah SWT.
Dan tentunya kalau dilihat dari manfaat kegunaannya merupakan salah satu sarana
pembangunan, baik di bidang keagamaan, khususnya peribadatan, perekonomian,
kebudayaan, kesehatan, keamanan dan sebagainya.Dengan demikian, benda wakaf
tersebut benar-benar terasa manfaatnya untuk kepentingan kemanusiaan (umum),
tidak hanya untuk keluarga atau kerabat yang terbatas.
Wakaf khairi inilah yang bener-benar sejalan dengan
amalan wakaf yang amat digembirakan dalam ajaran islam, yang dinyatakan
pahalanya akan terus mengalir hingga wakif meninggal dunia, selama harta masih
dapat diambil manfaatnya.
G.
Pengawasan, Menukar Dan Menjual Harta Wakaf
Pada dasarnya pengawasan harta waqaf merupakan hak
waqif, akan tetapi waqif boleh
menyerahkan pengawasan kepada orang lain, baik lembaga maupun perorangan. Untuk
menjamin kelancaran masaalh perwaqafan, peraturan-peraturan yang mengatur
permasalahan waqaf termasuk pengawasannya.
Untuk pengawasan waqaf yang sifatnya perorangan
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut, yaitu :
·
Berakal
dan sehat
·
Baligh
·
Dapat
dipercaya
·
Mampu
melaksanakan urusan-urusan waqaf.
Bila syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi, hakim
berhak menunjuk orang lain yang mempunyai hubungan kerabat dengan waqaf. Bila
kerabat juga tidak ada, maka ditunjuk orang lain. Agar pengawasan dapat
berjalan dengan lancar dan baik, pengawasan waqaf yang bersifat perorangan
boleh diberi imbalan secukupnya sebagai
gajinya atau boleh diambil dari hasil harta waqaf tersebut. Pengawasan harta
waqaf berwenang melakukan perkara-perrkara yang dapat mendatangkan kebaikan harta
waqaf, dan mewujudkan keuntungan-keuntungan bagi tujuan waqaf, dengan
memperhatikan syarat-syaratyang ditentukan waqif.
Jaminan perwaqafan di Indonesia dinyatakan dalam
Undang-Undang pokok Agraria No.5 tahun 1960 pasal 49 ayat 3 yang menyatakan bahwa perwaqafan
tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan peraturn pemerintah.
Berdasarkan hadist
yang diriwayatkan oleh imam Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar r.a yang
menceritakan tentang waqaf Umar bahwa waqaf umar yang mencertakn tentang waqaf
umar bahwa waqaf tidak boleh dijual, diwariskan, dan diheibahkan. Masalahnya
adalah apabila harta waqaf berkurang,
rusak atau t dak memenuhi fungsinya sebagai harta waqaf, apakah harta waqaf itu
harus dipertahankan tidak boleh dijual atau ditukar?,
Perbuatan waqaf
dinilai ibadah yang senatiasa mengalir pahalanya apabila harta waqaf dapat memenuhi fungsinya yang dituju.
Dalam hal harta waqaf yang berkurang,
rusak, atau tidak lagi dapat memenuhi
fungsinya yang dituju, harus dicari jalan keluarya agar harta
tersebut utuh dan tidak berkurang. Bahkan untuk menjual atau
menukarkannya pun tidak dilarang, kemudian ditukarkan dengan benda lain yang
dapat memenuhi tujuan waqaf.
Salah satu ulama Mazhab Hambali yang dikenal dengan
nama Ibnu Qudamah berpendapat bahwa
apabila harta waqaf tersebut mengalami kerusakan sehinggga tidak dapat lagi
membawa manfaat sesuai dengan tujuannya, hendaklah dijual saja, kemudian harga
penjualannya dibelikan dengan benda-benda lain yang akan mendatangkan manfaat
sesuai dengan tujuan waqaf dan benda-benda yang dibelikan itu berkedudukan
sebagai harta waqaf seperti semulanya.
waqaf adalah menahan
perpindahan miliksuatu harta yang bermanfaat dan tahan lama,sehingga manfaat
harta itu dapat digunakan untukmencarikeridhaan Allah SWT.
Rukun-
rukun wakaf adalah
e. Orang yang berwakaf ( wakif )
·
Berhak
berbuat kebaikan
·
Kehendak
sendiri bukan karena paksaan
f. Harta yang diwakafkan ( maukuf )
·
Kekal
zatnya,. Berarti bila manfaatnya diambil, zat barang itu tidak rusak.
·
Kepunyaannya
yang diwakafkannya
g. Tujuan wakaf ( maukuf`alaih )
h. Pernyataan wakaf ( sighat wakaf )
Macam-macam
wakaf
1. wakaf ahli yaitu wakaf yang ditunjukksn
kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakaf atau bukan.
2. Wakaf khairi adalah wakaf secara tegas
untuk kepentingan agama atau kemasyarakatan (kebajikan umum)
Ketentuan-ketentuan
Wakaf
1. Harta waqaf itu harus tetap ( tidak
dapat dipindahkan kepada orang lain ), baik dijualbelikan, dihebahkan, maupun
diwariskan.
2. Harta waqaf terlepas dari pemilikan
orang yang mewaqafkannya.
3. Tujuan waqaf itu harus jelas ( terang
)dan termasuk dalam perbuatan baik menurut ajaran agama islam.
4. Harta waqaf dapat dikuasakan kepada
pengawas yang memiliki hak ikut serta dalam dalam harta waqaf sekedar perlu
tidak berlebihan.
Untuk pengawasan waqaf yang sifatnya perorangan
diperlukan syarat-syarat sebagai berikut, yaitu : Berakal dan sehat, Baligh, Dapat
dipercaya, Mampu melaksanakan urusan-urusan
waqaf.
Syarat
syarat wakaf yang bersifat umum adalah sebagai berikut
1. Wakaf tidak dibatasi dengan waktu
tertentu sebab perbuatan wakaf berlaku untuk selamanya, tidak untuk waktu
tertentu.
2. Tujuan wakaf harus jelas
3. Wakaf harus segera dilaksanakan setelah
dinyatakan oleh orang yang mewakafkan.
4. Wakaf merupakan perkara yang wajib
dilaksanakan tanpa adanya hak khiar
5. Hendaklah jelas kepada siapa diwaqafkan.