Rabu, 26 Juni 2013

WADI,AH

WADI’AH
A.    LATAR BELAKANG
Dalam menjalani kehidupan ini, manusia tidak dapat hidup secara sendiri- sendiri tanpa bantuan orang lain. Dikarenakan keterbatasan seseorang tersebut dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Islam telah memberikan tuntunan dan aturan, serta memberikan kemudahan bagi umatnya untuk menjalani kehidupan di dunia ini dalam rangka pengabdiannya kepada Allah SWT.
Wadi’ah merupakan salah satu bentuk dari kegiatan hubungan antara manusia yang dikenal dengan al-Wadiah. Al- wadi’ah adalah salah bentuk saling tolong- menolong antara manusia dengan jalan pemberian amanah suatu barang dari satu pihak kepada pihak lain untuk menjaga barang tersebut, atau sering disebut dengan titipan.
Dewasa ini, praktek wadi’ah telah diterapkan di dalam perbankan syari’ah. Umat Islam tidak perlu khawatir dalam menggunakan jasa Wadi’ah di dalam perbankan syari’ah.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.   Apa yang dimaksud dengan wadi’ah?
2.   Apa landasan hukum dari wadi’ah?
3.    Apa saja yang termasuk rukun dan syarat wadi’ah?
4.   Apa saja hukum menerima benda titipan?
5.   Apa saja pembagian wadi’ah?
6.   Bagaimana aplikasi wadi’ah dalam perbankan?

C.    TUJUAN PEMBAHASAN
         Mengetahui apa saja yang terdapat didalam pembahasan wadi’ah antara lain pengertian, rukun dan syarat, landasan hukum wadi’ah, pembagian wadi’ah dan aplikasinya dalam perbankan syari’ah.






BAB II
PEMBAHASAN
A.     PENGERTIAN WADI’AH
   Secara Etimologi
            Secara etimologi wadi’ah ( الودعة) berartikan titipan (amanah). Kata Al-wadi’ah berasal dari kata wada’a (wada’a – yada’u – wad’aan) juga berarti membiarkan atau meninggalkan sesuatu.[1] Sehingga secara sederhana wadi’ah adalah sesuatu yang dititipkan.
Secara terminology :
Secara terminologi wadi’ah menurut mazhab hanafi, maliki dan hambali. Ada dua definisi wadi’ah yang dikemukakan ulama fiqh :
·         Ulama Hanafiyah :
الوادعة بمعني الا يداع هي عبارة عن أن  يسلط شخص غيره علي حفظ[2]
Wadi’ah dengan makna penitipan merupakan suatu istilah dari mengikutsertakan orang lain dalam menjaga barangnya
·         Ulama Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah (Jumhur Ulama) :
توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص
“mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu”[3]
·         Secara istilah wadi’ah dapat disimpulkan sebagai akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak orang yang menitipkan barang kepada orang lain agar dijaga dengan baik.
·         Sementara itu menurut Menurut UU No 21 Tentang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.[4]


B.   LANDASAN HUKUM WADI’AH
Asal dari Al-wadi’ah itu adalah boleh, bagi manusia yang dibebankan dalam memelihara milik orang lain harus bisa menjamin dalam menjaganya.[5]
Ulama fikih sependapat, bahwa wadi’ah adalah sebagai salah satu akad dalam rangka tolong menolong antara sesama manusia.

Sebagai landasannya firman allah di dalam al-quran
* ¨bÎ) ©!$# öNä.ããBù'tƒ br& (#rŠxsè? ÏM»uZ»tBF{$# #n<Î) $ygÎ=÷dr& #sŒÎ)ur OçFôJs3ym tû÷üt/ Ĩ$¨Z9$# br& (#qßJä3øtrB ÉAôyèø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# $­KÏèÏR /ä3ÝàÏètƒ ÿ¾ÏmÎ/ 3 ¨bÎ) ©!$# tb%x. $JèÏÿxœ #ZŽÅÁt/ ÇÎÑÈ  
58. Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat.[6]

Menurut para mufasir, ayat ini berkaitan dengan penitipan kunci Ka’bah kepada Usman bin Talhah (seorang sahabat Nabi) sebagai amanat dari Allah  SWT.
Dalam ayat lain disebutkan:
....فليؤد الذي اؤتمن اما نته .... ÇËÑÌÈ
“..... Hendaklah orang dipercayai itu menunaikan amanat .... (al-Baqarah: 283).[7]
Di dalam hadits Rasulullah disebutkan:
اد الأمانة االى من ائتمنك ولا تخن من خنك (رواه أبو داود والتر ميذى والحاكم(
“Hendaklah amanat orang yang mempercayai anda dan janganlah anda menghianati orang yang menghianati anda.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi dan Hakim).[8]

Dasar dari ijma’, yaitu ulama sepakat diperbolehkannya wadi’ah. Ia termasuk ibadah sunnah. Dalam kitab Mubdi disebutkan : “ijma’ dalam setiap masa memperbolehkan wadi’ah. Dalam kitab Ishfah disebutkan: ulama sepakat bahwa wadi’ah termasuk ibadah sunnah dan menjaga barang titipan itu mendapatkan pahala.[9]
            Kemudian berdasarkan fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN) No: 01/DSN MUI/IV/2000, menetapkan bahwa Giro yang dibenarkan secara syari’ah, yaitu giro yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah.
            Demikian juga tabungan dengan produk Wadi’ah, dapat dibenarkan berdasarkan Fatwa DSN No: 02//DSN-MUI/IV/2000, menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan, yaitu tabungan yang berdasarkan prinsip Mudharabah dan Wadi’ah[10]

C.   RUKUN DAN SYARAT WADI’AH
 Rukun Wadi’ah
            Menurut ulama ahli fiqh imam abu hanafi mengatakan bahwa rukun wadi’ah hanyalah ijab dan qobul[11]. Namun menurut jumhur ulama mengemukakan bahwa rukun wadi’ah ada tiga yaitu:
            1.      Orang yang berakad
            2.      Barang titipan
            3.      Sighah, ijab dan kobul
Syarat
Dalam hal ini persyaratan itu mengikat kepada Muwaddi’, wadii’,dan wadi’ah. Muwaddi’ dan wadii’ mempunyai persyaratan yang sama yaitu harus balig, berakal dan dewasa. Sementara wadi’ah disyaratkan harus berupa suatu harta yang berada dalam kekuasaan/tangannya secara nyata.[12]
a.       Syarat-syarat benda yang dititipkan
1.      Benda yang dititipkan disyaratkan harus benda yang bisa disimpan. Apabila benda tersebut tidak bisa disimpan, seperti burung di udara atau benda yang jatuh ke dalam air, maka wadi’ah tidak sah apabila hilang, sehingga tidak wajib mengganti. Syarat ini dikemukakan oleh ulama-ulama Hanafiah.[13]
2.      Syafi’iyah dan Hanabilah mensyaratkan benda yang dititipkan harus benda yang mempunyai nilai atau qimah dan dipandang sebagai maal, maupun najis. Seperti anjing yang bisa dimanfaatkan untuk berburu atau menjaga keamanan. Apabila benda tersebut tidak memiliki nilai, seperti anjing yang tidak ada manfaatnya, maka wadi’ah tidak sah.[14]
b.      Syarat Shigat
Sighat adalah ijab dan qabul. Syarat shigat adalah ijab harus dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Ucapan adakalanya tegas (sharih) dan adakalanya dengan sindiran (kinayah). Malikiyah menyatakan bahwa lafal dengan kinayah harus dengan disertai niat. Contoh : lafal yang sharih: “Saya titipkan barang ini kepada anda”. Sedangkan lafal sindiran “berikan kepadaku mobil ini”. Pemilik mobil menjawab:” saya berikan mobil ini kepada anda”. Kata “berikan” mengandung arti hibah dan wadiah (titipan).[15]

c.       Syarat orang yang menitipkan (al-mudi’)
Syarat orang yang menitipkan adalah sebagai berikut:
1.      Berakal
2.      Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh Syafiiyah. Dengan demikian menurut Syafiiyah, wadiah tidak sah apabila dilakukan dengan anak yang belum baligh. Tetapi menurut Hanafiah, baligh tidak menjadi syarat wadiah sehingga wadiah hukumnya sah apabila dilakukan dengan anak mumayyiz dengan persetujuan dari walinya.

d.      Syarat orang yang dititipi (al-muda’)
1.      Berakal
2.      Baligh. Syarat ini dikemukakan oleh Jumhur ulama. Akan tetapi, Hanafiah tidak menjadikan baligh sebagai syarat untuk orang yang dititipi, melainkan cukup ia sudah mumayyiz.
3.      Malikiyah mensyaratkan orang yang dititipi harus orang yang diduga kuat, mampu menjaga barang yang dititipkan kepadanya,

D.   HUKUM MENERIMA BENDA TITIPAN
Menurut keadaannya, hukum menerima wadi’ah ada empat. Yaitu :
a)      Wajib
Bagi orang yang sanggup diserahi(dititipi) oleh orang lain dan hanya dia satu-satunya orang yang dipandang sanggup, maka hukumnya wajib. Begitu juga, apabila orang yang menitipi itu dalam keadaan darurat.
b)      Sunnat
Bagi orang yang merasa sanggup diserahi suatu amanat, sehingga ia dapat menjaga barang yang diamanatkan dengan sebaik-baiknya.
c)      Makruh
Bagi orang yang sanggup, tetapi tidak percaya terhadapa dirinya sendiri, apakah ia mampu menjaga amanat itu dengan baik atau tidak, sehingga dimungkinkan ia tidak dapat mempertanggung jawabkannnya.
d)      Haram
Bagi orang yang benar-benar tidak sanggup untuk diserahi suatu amanat.[16]

Rusak dan Hilangnya Benda Titipan
Jika orang yang menerima titipan mengaku bahwa benda-benda titipan telah rusak tanpa unsur kesengajaan darinya, maka ucapan harus disertai dengan sumpah supaya perkataaan itu kuat kedudukannya menurut hukum, namun Ibnu al-Munzil berpendapat bahwa orang tersebut di atas sudah dapat diterima ucapannya secara hukum tanpa dibutuhkan adanya sumpah.
Menurut Ibnu Taimiyyah apabila seorang yang memelihara benda-benda titipan mengaku bahwa benda-benda titipan ada yang mencuri, sementara hartanya yang ia kelola tidak ada yang mencuri, maka orang yang menerima benda titipan wajib menggantinya.[17]
Ibnu Taimiyya dalam Kitab Mukhtasar al-Fatawa mengatakan, “Barang siapa mengaku bahwa dia menjaga barang titipan bersama hartanya, kemudian barang itu dicuri, sementara hartanya sendiri tidak, maka ia wajib bertanggung jawab.

Kecerobohan yang Menyebabkan Tanggungan
Pada dasarnya orang yang diserahi suatu amanat itu tidak berhak untuk menanggung resiko apapun, baik barang yang  diamanatkan itu rusak atau hilang. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Amr bin Syu’abi dari ayahnya dari kakeknya, dikatakan bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda : “barang siapa yang menerima titipan, maka baginya tidak usah ada jaminan.
Akan tetapi, apabila barang yang diamanatkan itu rusak atau hilang disebutkan oleh kecerobohan dari orang yang diserahi, maka wajib baginya untuk menanggungnya, yaitu dengan cara mengganti atau memperbaiki barang tersebut. Adapun bentuk kecerobohan dari orang yang diserahi amanat yang sangat mengakibatkan timbulnya tanggungan adalah sebagai berikut.
  1. Tidak disimpan ditempat yang wajar,
  2. Dititipkan kepada orang lain tanpa seizing pemiliknya.
  3. Dipergunakan tanpa izin pemiliknya, sehingga rusak.
  4. Disia-siakan.
  5. Tidak terlalu memperhatikan dalam pemeliharaan, sehingga hilang.
  6. Berkhianat, maksudnya ketika pemiliknya mengambil barang tersebut, ia tidak memberikannya,
  7. Ketika ia dalam keadaan sakit parah tiidak meninggalkan wasiat, sehingga ahli warisnya tidak mengetahui kalau orang tuanya diserahi amanat oleh seseorang.
Wadi’ah berakhir ketika salah satu dari pihak meninggal dunia atau gila atau meminta berhenti, baik itu orang yang memberi amanat(menitipkan) maupun orang yang diserahi amanat tersebut.[18]



E.   PEMBAGIAN WADI’AH DAN PENERAPANNYA PADA PERBANKAN SYARI’AH
Secara umum, terdapat dua jenis Wadi’ah, yaitu :
1.      Wadi’ah yad al-amanah (Trustee Defostery)
Al- wadi’ah Yad Al-Amanah, yaitu titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama (penitip) kepada pihak lain (bank) untuk memelihara (disimpan) barang/uang tanpa mengelola barang/ harta tersebut. Dan pihak lain (bank) tidak dibebankan terhadap kerusakan atau kehilangan pada barang/harta titipan selama hal tersebut. Aplikasinya di perbankan yaitu: safe deposit box.[19]

Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
-        Harta atau barang yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan dan digunakan oleh penerima titipan.
-        Penerima titipan hanya berfungsi sebagai penerima amanah yang bertugas dan berkewajiban untuk menjaga barang yang dititipkan tanpa boleh memanfaatkannya.
-        Sebagai kompensasi, penerima titipan diperkenankan untuk membebankan biaya kepada yang menitipkan.
-        Mengingat barang atau harta yang dititipkan tidak boleh dimanfaatkan oleh penerima titipan, aplikasi perbankan yang memungkinkan untuk jenis ini adalah jasa penitipan atau safe defosit box.

a.       Wadi’ah yad adh-dhamanah (Guarantee Depository)
Wadi’ah ini merupakan titipan barang/harta yang dititipkan oleh pihak pertama (nasabah) kepada pihak lain (bank) untuk memelihara barang/harta tersebut dan pihak lain (bank) dapat memanfaatkan dengan seizin pemiliknya dan menjamin untuk mengembalikan titipan tersebut secara utuh setiap saat, saat si pemilik menghendaki. Konsekuensinya jika uang itu dikelola pihak lain (bank) dan mendapat keuntungan, maka seluruh keuntungan menjadi milik pihak lain (bank) dan bank boleh memberikan bonus atau hadiah pada pihak pertama (nasabah) dengan dasar tidak ada perjanjian sebelumnya. Aplikasinya di perbankan yaitu : tabungan dan giro tidak berjangka.[20]
Wadi’ah jenis ini memiliki karakteristik sebagai berikut:
-        Harta dan barang yang dititipkan boleh dan dapat dimanfaatkan oleh yang menerima titipan.
-        Karena dimanfaatkan,barang dan harta yang dititipkan tersebut tentu dapat menghasilkan manfaat. Sekalipun demikian, tidak ada keharusan bagi penerima titipan untuk memberikan hasil manfaat kepada si penitip.
-        Produk perbankan yang sesuai dengan akad ini.
Prinsip wadi’ah yad dhamanah inilah yang secara luas kemudian diaplikasikan dalam dunia perbankan syari’ah dalam bentuk produk-produk pendanaan, yaitu:
·         Giro (Current Account) Wadi’ah
·         Tabungan (Saving Account) Wadi’ah

Wadi’ah yad-Amanah Berubah Menjadi Wadi’ah yad-Dhamanah
Kemungkinan perubahan sifat amanat berubah menjadi wadi’ah yang bersifat dhamanah (ganti rugi). Yaitu kemungkinan-kemungkinan tersebut adalah:
1.      Barang itu tidak dipelihara oleh orang yang dititipi. Dengan demikian halnya apabila ada orang lain yang akan merusaknya, tetapi dia tidak mempertahankannya, sedangkan dia mampu mengatasi (mencegahnya).
2.      Barang titipan itu dimanfaatkan oleh orang yang dititipi, kemudian barang itu rusak atau hilang. Sedangkan barang titipan  seharusnya dipelihara, bukan dimanfaatkan.
3.      Orang yangdititipi mengingkari ada barang titipan kepadanya. Oleh sebab itu, sebaiknya dalam akad wadi’ah disebutkan jenis varangnya dan jumlahnya ataupun sifat-sifat lain, sehingga apabila terjadi keingkaran dapat ditunjukkan buktinya.
4.      Orang yang menerima titipan barang itu, mencampuradukkan dengan bangan pribadinyam sehingga sekiranya ada yang rusak atau  hilang, maka sukar untuk menentukannya, apakah barangnya sendiri yang rusak (hilang) atau barnag titipan itu.
5.      Orang yang menerima titipan itu tidak menepati syarat-syarat yang dikemukakan oleh penitip barang itu, seperti tempat penyimpanan dan syarat-syarat lainnya.[21]


F.    APLIKASI DALAM PERBANKAN
Dalam hal ini, adanya pembahasan tentang adanya produk-produk perbankan syariah yang termasuk dalam penghimpunan dana(funding), yakni giro, tabungan, dan deposito.
Secara umum, yang dimaksud dengan giro adalah simpanan yang penariknya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek bilyet giro, sarana perintah bayar lainnya, atau dengan pemindahbukuan.
Adapun yang dimaksud dengan giro syari’ah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syari’ah Nasional telah mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa giro yang dibenarkan secara syarah adalah giro yang dijalankan berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
a.      Giro wadiah
Yang dimaksud dengan giro wadiah adalah giro yang dijalankan berdasarkan akad wadiah, yakni titipan murni yang setiap saat dapat diambil jika pemiliknya menghendaki. Dalam konsep wadiah, yad al dhommanoh, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan. Hal ini berarti bahwa wadi’ah yad al dhomanoh, mempunyai implikasi hukum yang sama dengan qardh, yakni nasabah bertindak sebagai pihak yang meminjamkan uang dan bank bertindak sebagai pihak yang dipinjami. Dengan demikian, pemilik dana dan bank tidak boleh saling menjanjikan untuk memberikan imbalan atas penggunaan atau pemanfaatan dana atau barang titipan tersebut. Dalam kaitannya dengan produk giro, bank syariah menerapkan prinsip yang memberikan hak kepada bank syariah untuk menggunakan atau memanfaatkan uang atau barang titipannya, sedangkan bank syariah bertindak sebagai pihak yang dititipi yang disertai hak  untuk mengelola dana titipan dengan tanpa mempunyai kewajiban memberikan bagi hasil dari keuntungan pengelolaan dana tersebut. Namun demikian, bank syariah diperkanankan memberikan insentif berupa bonus dengan catatan tidak disyaratkan sebelumnya. Dari pemaparan di atas, dapat dinyatakan beberapa ketentuan umum giro wadiah sebagai berikut:
1.      Dana wadiah dapat digunakan oleh bank untuk kegiatan komersil dengan syarat harus menjamin pembayaran kembali nominal dana wadiah tersebut.
2.      Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi hak milik atau ditanggung bank, sedang pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat tapi tidak boleh diperjanjikan dimuka.
3.      Pemilik dana wadiah dapat menarik kembali dananya sewaktu-waktu (on call), baik sebagian ataupun seluruhnya.
Seperti yang dikemukakan di atas, bank dapat memberikan bonus atas penitipan dana wadiah. Pemberian bonus dimaksud merupakan kewenangan bank dan tidak boleh diperjanjikan di muka.[22]
Dalam memperhitungkan bonus tersebut, hal- hal yang harus diperhatikan adalah:
·         Tarif bonus wadiah merupakan besarnya tariff yang diberikan bank sesuai ketentuan.
·          Saldo terendah adalah saldo terendah dalam satu bulan
·         Saldo rata-rata harian adalah total saldo dalam satu bulan dibagi hari bagi hasil sebenarnya menurut bulan kalender.
·         Saldo harian adalah saldo pada akhir hari.
·         Hari efektif adalah hari kalender tidak termasuk hari-hari tanggal pembukaan atau tanggal penutupan, tetapi termasuk hari tanggal tutup buku.
·         Dana giro yang mengendap kurang dari satu bulan karena rekening baru dibuka awal bulan atau ditutup tidak pada akhir bulan tidak mendapatkan bonus wadiah, kecuali apabila penghitungan bonus wadiahnya atas dasar saldo harian.
b.      Tabungan Wadi’ah
Di samping giro, produk perbankan syariah lainnya termasuk produk penghimpunan dana (funding) ada tabungan. Berdasarkan UU NO. 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas UU NO.7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang dimaksud dengan tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro dan atau lainnya yang dapat dipersamakan dengan itu.
Adapun yang dimaksud dengan tabungan syariah adalah tabungan yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah. Dalam hal ini, Dewan Syari’ah Nasional mengeluarkan fatwa yang menyatakan bahwa tabungan yang dibenarkan adalah tabungan yang berdasarkan prinsip wadiah dan mudharabah.
Ketentuan umum tabungan wadiah adalah sebagai berikut:
1.      Tabungan wadiah merupakan tabungan yang bersifat titipan murni yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat (on call) sesuai dengan kehendak pemilik harta.
2.      Keuntungan dan kerugian dari penyaluran dana atau pemanfaatan barang menjadi milik atau tanggungan bank, sedangkan nasabah penitip tidak dijadikan imbalan dan tidak menanggung kerugian.
3.      Bank dimungkinkan memberikan bonus kepada pemilik harta sebagai sebuah insentif selama tidak diperjanjikan dalam akad pembukaan rekening.[23]














BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
·         Secara istilah wadi’ah dapat disimpulkan sebagai akad yang dilakukan oleh kedua belah pihak orang yang menitipkan barang kepada orang lain agar dijaga dengan baik
·         Landasan hukum wadi’ah adalah surat Al-Baqarah ayat 283, An-Nisa ayat 58, hadits Nabi, Ijma’ Ulama, dan Dewan syari’at Nasional
·         Rukun wadi’ahh adalah baligh, berakal, sehat. Sedangkan syarat-syarat wadi’ah dillihat dari aspek Muwaddi, Wadi’I dan Wadi’ah
·         Hukum menerima Wadi’ah adalah Wajib, Sunna, Makruh, dan Haram
·         Pembagian wadi’ah antara lain : wadi’ah yad-amanah dan wadi’ah  ad-dhamanah
·         Aplikasi wadi’ah dalam perbankan syaariah adalah berbentuk Giro Wadi’ah dan tabungan

















DAFTAR PUSTAKA
Yunus, Mahmud, Kamus Bahasa Arab-Indonesia  (Jakarta : Hidayakarya Agung,2005)    
 ‘Al-asqilani, Al-Hafidz Ibnu Hajar Bulughul Maram, Jeddah         
‘Al jaziri, Abdul Rahman, Kitab al-Fiqh ‘ala al-madzahib al’arba’ah,, Jilid 1 (Riyadh ;Darul Fikr Riyadh, 2005)  
____________________, Kitab al-Fiqh ‘ala al-madzahib al’arba’ah,, Jilid 2 (Riyadh ;Darul Fikr Riyadh, 2005)
____________________,Kitab al-Fiqh ‘ala al-madzahib al’arba’ah,, Jilid 3(Riyadh ;Darul Fikr Riyadh, 2005)
Al-Qur’an       
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik , Gema Insani Press, Jakarta, 2001      
Chapra, Umer, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2000)
Fatwa DSN MUI, http://www.mui.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=149:fatwa-dsn-mui-no-02dsn-muiiv2000-tentang-t-a-b-u-n-g-a-n-&catid=57:fatwa-dsn-mui di akses pada 20 Maret 2013, pukul 09.00  
Haroen,  Nasrun, Fiqh Muamalah , (Jakarta:Gaya Media Pratama,2007)     
Hasan, M. Ali , Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh mu’amalat). Jakarta: Rajawali Pers. Jakarta, 2000 
Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar, (Beirut:dar al-Fkr, 1992)
Karim, Adiwarman, Islamic Banking, Jakarta, Rajawali Press,
________________,Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2010) 
Labib Mz, Harniawati, Risalah Fiqih Islam, Surabaya: Bintang usaha Jaya, 2006    
M.A Mannan. Islamic And Economics,j theory and practice, Bookseller and exporters, Pakistan,1991
sheikh Mahmud Ahmad, Economics of Islam, Jayyed press, delhi, 1980
Undang-Undang mengenai Wadi’ah, www.bi.go.id/NR/rdonlyres/248300B4.../UU_21_08_Syariah.pdf, diakses pada 25 Maret 2013, pukul 09.00      
Yunus, Mahmud, Kamus Bahasa Arab-Indonesia  (Jakarta : Hidayakarya Agung),2000.



[1] Kamus Arab-Indonesia, Prof. DR. H.  Mahmud Yunus, 2005, Hidayakarya Agung; Jakarta, Hal. 495
[2] ‘Abdul Rahman Al jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-madzahib al’arba’ah,, Jilid 1 Darul Fikr Riyadh, 2005,h. 182
[3] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah (2007); Gaya Media Pratama, Jakarta, Hal. 244-245
[4] Undang-Undang mengenai Wadi’ah, www.bi.go.id/NR/rdonlyres/248300B4.../UU_21_08_Syariah.pdf, diakses pada 25 Maret 2013, pukul 09.00
[5]Abdul Rahman Al jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-madzahib al’arba’ah,Jilid 2 Darul Fikr Riyadh, 2005,h. 181
[6] Al-Qur’an, surat An-Nisa ayat:58                                                                                                            
[7] Alqur’an, surat Al- Baqarah, ayat:283
[8] Al-Hafidz Ibnu Hajar ‘Al-asqilani, Bulughul Maram, Jeddah, h.182
[9] Abdullah bin Muhammad ath-Thayyar, Ensiklopedi Fiqh Muamalah dalam Pandangan 4 Mazhab,Yogyakarta: Maktabah al-hanif,2009, h. 390
[11]Abdul Rahman Al jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-madzahib al’arba’ah,, Jilid 2 Darul Fikr Riyadh, 2005,h. 185
[12] Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, Gema Insani, Jakarta, 2000, h. 200
[13] Ibnu Abidin, Hasyiyah Radd al-Mukhtar, Beirut, dar al-Fkr, 1992, h. 328
[14] Abdurrahman al jaziri, Kitab al-Fiqh ‘ala al-madzahib al arba’ah… h. 249
[15] Ibid, h.250 dan 253
[16] Labib Mz, Harniawati, Risalah Fiqih Islam, Surabaya: Bintang usaha Jaya, 2006, h.773
[17]  Hendi Sufendi, Fiqh Muamalah, (Jakarta;PT.Raja Grafindo Persada,2002,)h.185
[18] Mardan, Fiqh Ekonomi Syariah, Jakarta: Kencana 2012, h. 282

[19] Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktik , Gema Insani Press, Jakarta, 2001, h. 110
[20] Nasroen Harun, Fiqh Muamalah, Gema Media Pratama, Jakarta, 2007, h. 103
[21] M. Ali Hasan. 2003. Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Fiqh mu’amalat). Rajawali Pers. Jakarta. Hal 249
[22] Adiwarman Karim, Islamic Banking, Jakarta, Rajawali Press, h. 288-289
[23] Adiwarman Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2010), h. 339

Tidak ada komentar:

Posting Komentar