SALAM
A.
Latar Belakang Masalah
Diantara bukti
kesempurnaan agama Islam ialah dibolehkannya jual beli dengan cara salam, yaitu
akad pemesanan suatu barang dengan kriteria yang telah disepakati dan dengan
pembayaran tunai pada saat akad dilaksanakan. Yang demikian itu, dikarenakan
dengan akad ini kedua belah pihak mendapatkan keuntungan tanpa ada unsur
tipu-menipu atau gharar (untung-untungan).
Pembeli
(biasanya) mendapatkan keuntungan berupa jaminan untuk mendapatkan barang
sesuai dengan yang ia butuhkan dan pada waktu yang ia inginkan. Sebagaimana ia
juga mendapatkan barang dengan harga yang lebih murah bila dibandingkan dengan
pembelian pada saat ia membutuhkan kepada barang tersebut. Sedangkan penjual
juga mendapatkan keuntungan yang tidak kalah besar dibanding pembeli,
diantaranya penjual mendapatkan modal untuk menjalankan usahanya dengan
cara-cara yang halal, sehingga ia dapat menjalankan dan mengembangkan usahanya
tanpa harus membayar bunga.
Dengan demikian
selama belum jatuh tempo, penjual dapat menggunakan uang pembayaran tersebut
untuk menjalankan usahanya dan mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa ada
kewajiban apapun. Penjual memiliki keleluasaan dalam memenuhi permintaan
pembeli, karena biasanya tenggang waktu antara transaksi dan penyerahan barang
pesanan berjarak cukup lama.
Jual-beli
dengan cara salam merupakan solusi tepat yang ditawarkan oleh Islam guna
menghindari riba. Dan mungkin ini merupakan salah satu hikmah disebutkannya
syari'at jual-beli salam sesuai larangan memakan riba.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah dalam makalah ini adalah:
1.
Apa yang dimaksud dengan bai’ as-Salam dan bagaimana konsep
aplikasinya dalam kehidupan bermuamalat.
2.
Apa yang dimaksud dengan salam paralel dan bagaimana
konsep aplikasinya dalam kehidupan bermuamalat.
C.
Tujuan Penulisan
1.
Mengetahui bai’ as-Salam dan konsep aplikasinya dalam
kehidupan bermuamalat.
2.
Mengetahui salam paralel dan konsep aplikasinya dalam
kehidupan bermuamalat.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN BAI’ AS-SALAM
Secara bahasa, salam (سلم) adalah al-i'tha'
(الإعطاء) dan at-taslif (التسليف). Keduanya
bermakna pemberian.[1]
Ungkapan aslama ats tsauba lil al-khayyath bermakna : dia telah menyerahkan
baju kepada penjahit.[2]
Sedangkan secara istilah
syariah, akad salam sering didefinisikan oleh para fuqaha
secara umumnya menjadi: (بيع موصوف في الذمة ببدل يعطى عاجلا). Jual-beli barang yang disebutkan sifatnya
dalam tanggungan dengan
imbalan (pembayaran) yang dilakukan saat itu juga.
Penduduk Hijaz mengungkapkan akad pemesanan barang dengan istilah
salam, sedangkan penduduk Irak menyebutnya Salaf.
Jual
beli salam adalah suatu benda yang disebutkan sifatnya dalam tanggungan atau
memberi uang didepan secara tunai, barangnya diserahkan kemudian/ untuk waktu
yang ditentukan. Menurut ulama syafi’iyyah akad salam boleh ditangguhkan hingga
waktu tertentu dan juga boleh diserahkan secara tunai.[3]
Secara lebih rinci salam didefenisikan dengan bentuk jual beli
dengan pembayaran dimuka dan penyerahan barang di kemudian hari (advanced payment atau
forward buying atau future sale) dengan harga, spesifikasi,
jumlah, kualitas, tanggal dan tempat penyerahan yang jelas, serta disepakati
sebelumnya dalam perjanjian.[4]
Fuqaha menamakan jual beli
ini dengan “penjualan Butuh” (Bai’
Al-Muhawij). Sebab ini adalah penjualan yang barangnya tidak ada, dan
didorong oleh adanya kebutuhan mendesak pada
masing-masing penjual dan pembeli. Pemilik modal membutuhkan untuk
membeli barang, sedangkan pemilik barang butuh kepada uang dari harga barang.[5] Berdasarkan
ketentuan-ketentuannya, penjual bisa mendapatkan pembiayaan terhadap penjualan
produk sebelum produk tersebut benar-benar tersedia.[6]
B.
LANDASAN SYARIAH
Landasan syariah transaksi bai’
as-Salam terdapat dalam al-Qur’an dan al-Hadist.
a.
Al-Quran
$ygr'¯»t úïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä #sÎ) LäêZt#ys? AûøïyÎ/ #n<Î) 9@y_r& wK|¡B çnqç7çFò2$$sù 4
282. Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu bermu'amalah[7]
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.[8]
Dan utang
secara umum meliputi utang-piutang dalam jual beli salam,dan utang-piutang
dalam jual beli lainnya. Ibnu Abbas telah menafsirkan tentang utang-piutang
dalam jual beli salam.[9]
Dalam kaitan ayat di atas Ibnu Abbas menjelaskan keterkaitan ayat
tersebut dengan transaksi bai’ as-Salam, hal
ini tampak jelas dari ungkapan beliau: “Saya
bersaksi bahwa salam (salaf) yang dijamin untuk jangka waktu tertentu telah
dihalalkan oleh Allah pada kitab-Nya dan diizinkan-Nya.” Ia lalu membaca
ayat tersebut.[10]
b. Al-Hadist
عَنِ اِبْنِ عَبَّاسٍ - رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ: قَدِمَ اَلنَّبِيُّ صلى الله عليه
وسلم اَلْمَدِينَةَ, وَهُمْ يُسْلِفُونَ فِي اَلثِّمَارِ اَلسَّنَةَ
وَالسَّنَتَيْنِ, فَقَالَ: ( مَنْ أَسْلَفَ فِي تَمْرٍ فَلْيُسْلِفْ فِي كَيْلٍ
مَعْلُومٍ, وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ, إِلَى أَجَلٍ مَعْلُومٍ ) مُتَّفَقٌ
عَلَيْهِ. وَلِلْبُخَارِيِّ: مَنْ أَسْلَفَ فِي شَيْءٍ
Ibnu Abbas berkata: Nabi
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam datang ke Madinah dan penduduknya biasa
meminjamkan buahnya untuk masa setahun dan dua tahun. Lalu beliau bersabda:
"Barangsiapa meminjamkan buah maka hendaknya ia meminjamkannya dalam
takaran, timbangan, dan masa tertentu." Muttafaq Alaihi. Menurut riwayat
Bukhari: "Barangsiapa meminjamkan sesuatu."[11]
وَعَنْ عَبْدِ اَلرَّحْمَنِ بْنِ أَبْزَى، وَعَبْدِ اَللَّهِ بْنِ
أَبِي أَوْفَى -رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَا: ( كُنَّا نُصِيبُ
اَلْمَغَانِمَ مَعَ رَسُولِ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم وَكَانَ يَأْتِينَا
أَنْبَاطٌ مِنْ أَنْبَاطِ اَلشَّامِ, فَنُسْلِفُهُمْ فِي اَلْحِنْطَةِ
وَالشَّعِيرِ وَالزَّبِيبِ - وَفِي رِوَايَةٍ: وَالزَّيْتِ - إِلَى أَجَلٍ
مُسَمًّى. قِيلَ: أَكَانَ لَهُمْ زَرْعٌ? قَالَا: مَا كُنَّا نَسْأَلُهُمْ عَنْ
ذَلِك) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ
Abdurrahman Ibnu Abza dan Abdullah Ibnu Aufa
Radliyallaahu 'anhu berkata: Kami menerima harta rampasan bersama Rasulullah
Shallallaahu 'alaihi wa Sallam Dan datanglah beberapa petani dari Syam, lalu
kami beri pinjaman kepada mereka berupa gandum, sya'ir, dan anggur kering
-dalam suatu riwayat- dan minyak untuk suatu masa tertentu. Ada
orang bertanya: Apakah mereka mempunyai tanaman? Kedua perawi menjawab: Kami
tidak menanyakan hal itu kepada mereka. (HR. Bukhari).[12]
Abdullah bin Abu
Mujalid r.a. berkata, Abdullah bin Syadad bin Haad pernah berbeda pendapat
dengan Abu Burdah tentang salaf. Lalu mereka utus saya kepada Ibnu Abi Aufa.
Lantas saya tanyakan kepadabya perihal iti. Jawabnya. ‘Sesungguhnya pada
masa Rasulullah Saw., pada masa Abu Bakar, pada masa Umar, kami pernah
mensalafkan gandum, sya’ir, buah anggur, dan kurma. Dan saya pernah pula
bertanya kepada Ibnu Abza, jawabnya pun seperti itu juga. (Bukhari).[13]
Dari berbagai landasan di
atas, jelaslah bahwa akad salam diperbolehkan
sebagai kegiatan bemuamalah sesama manusia.
C.
RUKUN BAI’ AS-SALAM
Pelaksanaan bai’ as-Salam harus memenuhi sejumlah
rukun sebagai berikut[14]:
1. Muslam (pembeli)
adalah pihak yang membutuhkan dan memesan barang.
2. Muslam ilaih (penjual)
adalah pihak yang memasok barang pesanan.
3. Modal atau uang. Ada pula
yang menyebut harga (tsaman).
4. Muslan fiih adalah
barang yang dijual belikan.
5.
Shigat adalah ijab dan qabul.
D.
SYARAT JUAL
BELI SALAM
Syarat-syarat sahnya jual beli salam adalah
sebagai berikut:[15]
1.
Pihak-pihak
yang berakad disyaratkan dewasa, berakal, dan baligh.
2.
Barang
yang dijadikan obyek akad disyaratkan jelas jenis, ciri-ciri, dan ukurannya.
3.
Modal
atau uang disyaratkan harus jelas dan terukur serta dibayarkan seluruhnya
ketika berlangsungnya akad. Menurut kebanyakan fuqaha, pembayaran tersebut
harus dilakukan di tempat akad supaya tidak menjadi piutang penjual. Untuk
menghindari praktek riba melalui mekanisme Salam. pembayarannya tidak bisa
dalam bentuk pembebasan utang penjual.
4.
Ijab dan
qabul harus diungkapkan dengan jelas, sejalan, dan tidak terpisah oleh hal-hal
yang dapat memalingkan keduanya dari maksud akad.
Para imam
mazhab telah bersepakat bahwasanya jual beli salam adalah benar dengan enam
syarat yaitu jenis barangnya diketahui, sifat barangnya diketahui, banyaknya
barang diketahui, waktunya diketahui oleh kedua belah pihak, mengetahui kadar
uangnya, jelas tempat penyerahannya.[16]
Namun Imam Syafi’i menambahkan bahwa
akad salam yang sah harus memenui syarat in’iqad, syarat sah, dan syarat
muslam fiih.
1.
Syarat-syarat In’iqad
a.
Pertama,
menyatakan shigat ijab dan qabul, dengan sighat yang telah disebutkan.
b.
Kedua,
pihak yang mengadakan akad cakap dalam membelanjakan harta. Artinya dia telah
baligh dan berakal karena jual beli salam
merupakan transaksi harta benda, yang hanya sah dilakukan oleh orang
yang cakap membelanjakan harta, seperti halnya akad jual beli.
2.
Syarat Sah Salam
a.
Pertama,
pembayaran dilakukan di majelis akad sebelum akad disepakati, mengingat
kesepakatan dua pihak sama dengan perpisahan. Alasannya, andaikan pembayaran
salam ditangguhkan, terjadilah transaksi
yang mirip dengan jual beli utang dan piutang, jika harga berada dalam
tanggungan. Disamping itu akad salam mengandung gharar.
b.
Kedua,
pihak pemesan secara khusus berhak menentukan tempat penyerahan barang pesanan,
jika dia membayar ongkos kirim barang. Jika tidak maka pemesan tidak berhak menentukan
tempat penyerahan. Apabila penerima pesanan harus menyerahkan barang itu di
suatu tempat yang tidak layak dijadikan sebagai tempat penyerahan. misalnya
gurun sahara,, atau layak dijadikan
tempat penyerahan barang tetapi perlu biaya pengangkutan, akad salam hukumnya
tidak sah.
3.
Syarat Muslam Fiih (barang pesanan)
Ada empat syarat yang harus dipenuhi dalam barang pesanan, yaitu
sebagai berikut:
a.
Pertama,
barang pesanan harus jelas jenis, bentuk, kadar, dan sifatnya. Ia dapat diukur
dengan karakteristik tertentu yang membedakannya dengan barang lain dan
tentu mempunyai fungsi yang berbeda pula
seperti beras tipe 101, gandum, jagung putih, jagung kuning dan jenis barang
lainnya. Barang seperti lukisan berharga dan barang-barang langka tidak dapat
dijadikan barang jual beli salam. Penyebutan karakteristik tersebut sangat perlu
dilakukan untuk menghindari ketidakjelasan barang pesanan.
b.
Kedua,
barang pesanan dapat diketahui kadarnya baik berdasarkan takaran, timbangan,
hitungan perbiji, atau ukuran panjang dengan satuan yang dapat diketahui.
Disyaratkan menggunakan timbangan dalam pemesanan buah-buahan yang tidak dapat
diukur dengan takaran.
‘Abdullah ibn Mas‘ud melarang adanya kontrak salam pada binatang. Tetapi
‘Abdullah ibn ‘Umar membolehkannya jika pembayaran ditentukan pada waktu yang
telah disepakati. Hal ini menunjukkan bahwa para sahabat terus mengizinkan
praktek penjualan di muka.[17]
c.
Ketiga,
barang pesanan harus berupa utang (sesuatu yang menjadi tanggungan).
d.
Keempat, barang pesanan dapat diserahkan begitu jatuh tempo penyerahan.
Barang yang sulit diserahkan tidak boleh diperjual belikan, karena itu dilarang
alam akad salam.[18]
Hal-hal lain yang terkait dengan transaksi salam
dapat diuraikan sebagai berikut:[19]
Ketentuan Pembiayaan Bai as-Salam
sesuai dengan Fatwa No.05/1 DSN-MUI/IV/2000 Tanggal 1 April 2000.
a) Ketentuan Pembayaran Uang Kas:
i.
Alat bayar harus
diketahui jumlah dan bentuknya, baik berupa
uang, barang, atau manfaat;
ii.
Dilakukan saat kontrak disepakati
(in advance); dan
iii.
Pembayaran tidak boleh
dalam bentuk ibra’ (pembebasan utang). contoh pembeli mengatakan kepada
petani (penjual) “Saya beli padi Anda sebanyak 1 ton dengan harga Rp 10 juta
yang pembayarannya/uangnya adalah Anda saya bebaskan membayar utang Anda yang
dahulu (sebesar Rp 2 juta)”. Pada kasus ini petani memang memiliki utang yang
belum terbayar kepada pembeli, sebelum terjadinya akad salam tersebut.
iii.
Waktu dan tempat
penyerahan barang harus ditetapkan ber- dasarkan kesepakatan;
iv.
Pembeli tidak boleh
menjual barang sebelum barang tersebut diterimanya (qabadh). Ini prinsip
dasar jual beli; dan
v.
Tidak boleh menukar
barang, kecuali dengan barang sejenis sesuai kesepakatan.
c)
Penyerahan Barang sebelum
Tepat Waktu:
i.
Penjual wajib
menyerahkan barang tepat waktu dengan kualitas dan kuantitas yang disepakati;
ii.
Bila penjual menyerahkan
barang, dengan kualitas yang lebih tinggi, penjual tidak boleh meminta tambahan
harga;
iii.
Jika penjual menyerahkan
barang dengan kualitas lebih rendah, dan pembeli rela menerimanya, maka pembeli
tidak boleh meminta pengurangan harga (diskon); dan
iv.
Penjual dapat
menyerahkan barang lebih cepat dari waktu yang disepakati dengan syarat:
kualitas dan jumlah barang sesuai dengan kesepakatan dan tidak boleh menuntut
tambahan harga.
Jika semua/sebagian barang tidak tersedia tepat
pada waktu penyerahan atau kualitasnya lebih rendah dan pembeli tidak rela menerimanya,
maka pembeli memiliki dua pilihan:
1.
Membatalkan kontrak dan
meminta kembali uang.
2.
Menunggu sampai barang
tersedia.
Pembatalan kontrak boleh dilakukan selama tidak merugikan kedua
belah pihak, dan jika terjadi di antara kedua belah pihak, maka persoalannya
diselesaikan melalui pengadilan agama sesuai dengan UU No. 3/2006 setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah. Para pihak dapat juga memilih BASYARNAS
(Badan Arbitrase Syariah Nasional) dalam penyelesaian
sengketa. Tetapi jika lembaga ini yang dipilih dan disepakati sejak awal, maka
tertutuplah peranan pengadilan agama.
Menentukan Waktu Penyerahan Barang
Tentang periode minimum pengiriman,
para fuqaha memiliki pendapat berikut:
a.
Hanafi menetapkan periode penyerahan barang pada satu
bulan. Untuk beberapa penundaan, selambat-lambatnya adalah tiga hari. Tapi,
jika penjual meninggal dunia sebelum penundaan berlalu, salam mencapai
kematangan. Dalam Ketentuan Umum tentang Akad, pasal 89 menyebutkan “Jika
penjual meninggal dan jatuh pailit setelah menerima pembayaran tetapi belum
menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli, barang tersebut dianggap barang
titipan kepunyaan pembeli yang ada di tangan penjual.
b.
Menurut Syafi’i salam dapat segera dan tertunda.
c.
Menurut Malik, penundaan tidak boleh kurang dari 15
hari.[20]
E.
SALAM PARALEL
1.
Pengertian
Salam
paralel yaitu melaksanakan dua transaksi bai’ as-Salam antara bank
dengan nasabah, dan antara bank dengan pemasok (supplier) atau pihak
ketiga lainnya secara simultan.
Dewan
Pengawas Syariah Rajhi Banking & Investment Corporation telah menetapkan
fatwa yang membolehkan praktek salam
paralel dengan
syarat pelaksanaan transaksi salam kedua tidak tergantung pelaksanaan akad
salam yang pertama.
Beberapa ulama kontemporer melarang transaksi salam paralel terutama jika perdagangan dan
transaksi semacam itu dilakukan secara terus-menerus. Hal demikian diduga akan
menjurus kepada riba.
2.
Ketentuan Umum
a.
Pembatalan kontrak
Pembatalan kontrak dengan pengembalian uang
pembelian, menurut jumhur ulama, dimungkinkan dalam kontrak salam. Pembatalan penuh pengiriman muslam fihi dapat dilakukan sebagai ganti pembayaran
kembali seluruh modal salam yang telah dibayarkan. Demikian juga
pembatalan sebagian penyerahan barang dapat dilakukan dengan mengembalikan
sebagian modal.
b. Penverahan
muslam
fihi sebelum atau pada waktunva.
Muslam
ilaih harus
menyerahkan muslam fihi tepat pada waktunya dengan kualitas dan
kuantitas sesuai kesepakatan. Jika muslam
ilaih
menyerahkan muslam fihi dengan kualitas yang lebih tinggi, muslam harus menerimanya dengan syarat bahwa muslam ilaih tidak meminta harga yang lebih tinggi sebagai
ganti kualitas yang lebih baik tersebut.
Jika muslam
ilaih
mengantar muslam fihi dengan kualitas lebih rendah, pembeli
mempunyai pilihan untuk menolak atau menerimanya. Para ulama berbeda pendapat
tentang boleh tidaknya muslam
ilaih
menyerahkan muslam fihi yang berbeda dari yang telah disepakati.
Muslam
ilaih dapat
menyerahkan muslam fihi lebih cepat dari yang telah disepakati, dengan
beberapa syarat:
a)
Kualitas dan kuantitas muslam fihi telah disepakati.
b)
Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih tinggi dari kesepakatan.
c)
Kualitas dan kuantitas muslam fihi tidak lebih rendah dari kesepakatan.
d)
Jika semua atau sebagian muslam fihi tidak tersedia pada waktu penyerahan, muslam mempunyai dua pilihan. Pertama, membatalkan
kontrak dan meminta kembali uangnya. Kedua, menunggu sampai muslam fihi tersedia.
3.
Perbedaan Bai’ as Salam dengan Ijon
Banyak orang yang menyamakan bai’ as salam dengan ijon Padahal, terdapat perbedaan besar
di antara keduanya. Dalam ijon, barang yang dibeli tidak diukur atau ditimbang
secara jelas dan spesifik. Demikian juga penetapan
harga beli, sangat tergantung kepada keputusan sepihak si tengkulak yang sering
kali sangat dominan dan menekan petani yang posisinya lebih lemah. Sedangkan
transaksi bai 'as salam mengharuskan adanya 2 hal:
a.
Pengukuran dan spesifikasi barang yang jelas.
Hal ini tercermin dari hadits Rasulullah yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas.
"Barangsiapa melakukan transaksi salaf (salam),
maka hendaklah ia melakukan dengan takaran yang jelas, timbangan yang jelas,
untuk jangka waktu yang jelas pula."
b.
Adanya keridhaan yang utuh antara kedua belah
pihak. Hal ini terutama dalam penyepakati harga. Allah berfirman: "Kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka di antara kalian." (Q.S. An Nisa: 29).
Untuk memastikan adanya harga yang “fair” ini
pemerintah diwajibkan melakukan pengawasan dan pembinaan.
Contoh
Ijon:
Pembeli membeli beras yang saat itu masih belum
dipanen sebanyak satu hektar, dan diantar pada saat panen.
Contoh Bai’ as Salam:
Pembeli membeli padi sebanyak satu ton padi
dari petani yang diantar pada waktu panen.
Pada contoh ijon terdapat spekulasi yang akan
merugikan salah satu pihak. Jika pembeli memperkirakan hasil panen sebanyak
lima ton dan membayar seharga itu, sedangkan kenyataannya menghasilkan tujuh
ton, maka petani merugi. Ia tidak bisa menikmati dua ton kelebihannya. Tetapi
sebaliknya, jika hasilnya hanya tiga ton maka pembeli yang merugi karena telah
membayar seharga lima ton.
Pada contoh bai' as
salam, petani
hanya menjual sebagian dari produknya. Kalau terjadi gagal panen, ia hanya
wajib menyediakan padi sebanyak yang dapat dipenuhinya.
4.
Aplikasi dalam Perbankan
Bai’ as salam biasanya dipergunakan pada pembiayaan bagi
petani dengan jangka waktu yang relatif pendek, yaitu 2-6 bulan. Karena yang
dibeli oleh bank adalah barang seperti padi, jagung, dan cabai dan bank tidak
bemiat untuk menjadikan barang-barang tersebut sebagai simpanan atau inventory, maka dilakukan akad bai’as salam kepada pembeli kedua, misalnya kepada Bulog,
pedagang pasar induk, dan grosir. Inilah yang dalam perbankan Islam dikenal
sebagai salam paralel.
Bai ’ as salam juga dapat diaplikasikan pada pembiayaan barang
industri, misalnya produk garmen (pakaian jadi) yang ukuran barang tersebut
sudah dikenal umum. Caranya, saat nasabah mengajukan pembiayaan untuk pembuatan
garmen, bank mereferensikan penggunaan produk tersebut. Hal itu berarti bahwa
bank memesan dari pembuat garmen tersebut dan membayamya pada waktu pengikatan
kontrak. Bank kemudian mencari pembeli kedua. Pembeli tersebut bisa saja
rekanan yang telah direkomendasikan oleh produsen garmen tersebut Bila garmen
itu telah selesai diproduksi, produk tersebut diantarkan kepada rekanan tersebut.
Rekanan kemudian membayar kepada bank, baik secara mengangsur maupun tunai.
5.
Risiko dan Manfaat
Berdasarkan sifatnya yang paralel, bai' as salam mengandung risiko berdasarkan sifatnya yang
simultan, salam paralel memiliki beberapa manfaat dan risiko yang harus
diantisipasi oleh bank syariah, di antaranya:
a. Default. Jika pemasok tidak bisa mendatangkan barang
yang dipesan karena lalai atau menipu. Maka, bank tidak bias memenuhi barang
yang diminta oleh pembeli.[21]
b. Tak
terjual, bank tidak bisa mencari pembeli dari barang salam. Hal terjadi jika pemasok mengantarkan barang yang tidak sesuai dengan
kesepakatan saat kontrak.
c. Harga, harga
barang ketika diantar lebih rendah dari harga yang disepakati dengan penjual
saat kontrak.
Manfaat bai’as salam adalah selisih harga yang didapat dari nasabah
dengan harga jual kepada pembeli.
6.
Skema Aplikasi Jual Beli Salam
di Perbankan Syariah
Skema
jual beli salam yang dapat diaplikasikan dalam perbankan syariah adalah seperti
pada Gambar berikut[22].
Keterangan:
Koperasi petani
mangga harum manis memerlukan bantuan dana untuk mensukseskan panen
anggota-anggotanya tahun depan terhitung dari sekarang. Untuk itu, koperasi
petani tersebut mendatangi bank syariah dan menawarkan skema jual beli salam
agar bank syariah tidak rugi dan petanipun dapat panen dengan baik. Maka
prosesnya adalah sebagai berikut:
1.
Bank syariah
membeli 10 ton mangga harum manis dari koperasi petani buah mangga harum manis
dengan harga Rp. 50.000,- per kilogram menggunakan akad jual beli salam untuk 1
tahun kedepan.
2.
Bank syariah
membayar tunai kepada koperasi tersebut sebesar: Rp.50.000,- x 1000 x 10 = Rp.
500.000.000,- .
3.
Bank syariah
menjual kepada pemborong buah mangga harum manis dengan harga Rp.55.000,- per
kilogram menggunakan akad jual beli salam untuk 1 tahun kedepan.
4.
Pemborong
membayar tunai kepada bank syariah sebesar: Rp.55.000,- x 1000 x 10 =
Rp.550.000.000,-.
5.
Setelah satu
tahun berlalu, koperasi petani mengirimkan mangga harum manis dengan jumlah dan
kualitas sesuai pesanan kepada bank syariah.
6.
Bank syariah
kemudian mengirimkan buah-buah tersebut kepada pemborong.
7.
Pemborong
menjual mangga harum manis di pasar buah dengan harga Rp.100.000,- per
kilogram.
8.
Pemborong
mendapatkan keuntungan dari penjualan mangga di pasar buah.
Dari penjelasan
dalam skema di atas, terlihat bahwa semua yang terlibat dalam jual beli salam
mendapatkan keuntungan mereka masing-masing. Para petani mendapatkan keuntungan
berupa panen yang baik dengan hasil yang memuaskan disebabkan
keperluan-keperluan mereka dalam mengelola perkebunan tersebut dapat terpenuhi
dengan uang tunai yang dibayarkan di muka oleh pihak bank syariah. Sedangkan
pihak bank syariah mendapatkan keuntungan sebesar lima puluh juta rupiah yang
merupakan selisih harga jual kepada pemborong dengan harga beli dari petani
mangga. Dan pihak pemborong mendapatkan keuntungan dari selisih harga beli dari
bank syariah dengan harga jual di pasar buah.
Memang resiko
yang ditanggung oleh pihak bank dan pemborong cukup besar, utamanya ketika
prospek harga barang tersebut ke depannya tidak terlalu positif. Oleh karena
itu, sikap kehati-hatian bank dalam model jual beli ini sangatlah tinggi, dan
skema ini pada akhirnya memang tidak dapat diterapkan untuk semua jenis produk
atau hasil pertanian, hanya pada jenis-jenis hasil pertanian yang dapat
diramalkan bagus.
BAB III
KESIMPULAN
Bai' as-salam artinya pembelian barang yang diserahkan kemudian
hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus dianut adalah
harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang, dan hukum awal
pembayaran harus dalam bentuk uang.
Dalam transaksi Bai’ as Salam harus memenuhi 5 (lima) rukun yang mensyaratkan
harus ada pembeli, penjual, modal (uang), barang, dan ucapan (sighat).
Sebagaimana dapat dipahami dari namanya, yaitu as salam yang
berarti penyerahan, atau as salaf, yang artinya mendahulukan, maka para ulama'
telah menyepakati bahwa pembayaran pada akad as-salam harus dilakukan di muka
atau kontan, tanpa ada sedikitpun yang terhutang atau ditunda.
Telah diketahui bahwa akad salam ialah akad penjualan barang dengan
kriteria tertentu dan pembayaran di muka. Maka menjadi suatu keharusan apabila
barang yang dipesan adalah barang yang dapat ditentukan melalui penyebutan
kriteria. Penyebutan kriteria ini bertujuan untuk menentukan barang yang
diinginkan oleh kedua belah pihak, seakan-akan barang yang dimaksud ada
dihadapan mereka berdua. Dengan demikian, ketika jatuh tempo, diharapkan tidak
terjadi percekcokan kedua belah pihak seputar barang yang dimaksud.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Abu al-Walid M ibnu, 2004. Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid,
Beirut: Darul Fikri.
Al-‘Atsqolany, Ibnu Hajar, 2011. Bulughul Maram min Adillatil ahkam,
Surabaya: Mutiara Ilmu.
Al-Jaziry,
Abdurrahman, 2004. Kitab Al-fiqh, Beirut: Darul fikri.
Al-Qu’an
al-Karim.
Al-Zahily, Wahbah. 2007. Al-fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu, Damaskus:
Darul Fikri.
Antonio, Muhammad Syafi’i, 2006. Bank Syariah Wacana Ulama & Cendekiawan,
Jakarta.
Ascarya, 2011. Akad dan Produk Bank Syariah, Jakarta:
Raja Grafindo Persada.
Fatih, Ibrahim
bin, 2006. Uang Haram, Jakarta: Amzah.
Fahmi, Abu, Jual Beli Salam, http://sanggelombang.wordpress.com/2010/12/02/
jual-beli-salam/, di akses tanggal 4 April 2013, pukul 9:18 WIB.
Hassan, ‘Abdullah Alwi Haji, 2006. Sales And Contracts Early Islamic Commercial Law,
New Delhi: Kitab Bhavan.
Huda, Nurul dan Muhammad Haekal,
2010. Lembaga Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis, Jakarta: Kencana.
Khan, M. Fahin, 1995. Essays in Islamic Economics, Nigeria: The Islamic Foundation.
Lisanul Arab, madah
'Gharar'.
Mansuri,
Muhammad Tahir, 2006. Islamic Law of Contracts and Business Transactions, New Delhi: Adam Publishers & Distributors.
MuhZa,
Habiburrahman, Akad Salam, http://penabanten.blogspot.com/2011/06/
akad-salam.html, di akses tanggal 4 April 2013, pukul 8:48 WIB.
Rivai, Veithzal. dkk, 2012. Islamic Bussiness and Economic Ethics: Mengacu pada Al-Qur’an dan
Mengikuti Jejak Rasulullah SAW dalam Bisnis, Keuangan, dan Ekonomi, Jakarta: Bumi Aksara.
Syafe’I, Rahmat, 2004. Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia.
Zuhaili, Wahbah,
2008. Al-fiqhu Asy-syafi’iyyah Al-Muyassar, Beirut: Darul Fikr.
Zuhaili,
Wahbah. 2008. Fiqih Imam Syafi’i,
Jakarta Timur: Almahira.
[1] Salam yang dimaksud dalam
pembahasan ini terdiri dari tiga huruf : sin-lam-mim (سلم), artinya adalah penyerahan dan bukan
berarti perdamaian. Dari kata salam inilah istilah Islam punya akar yang salah
satu maknanya adalah berserah-diri. Sedangkan kata salam yang bermakna
perdamaian terdiri dari 4 huruf, sin-lam-alif-mim (سلام).
[4] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 2011), h. 90.
[5] Ibrahim bin Fatih bin Abd
Al-Muqtadir, Uang Haram, (Jakarta:
Amzah, 2006), h. 21.
[8] Al-Qu’an al-Karim
[9] Abdurrahman al-Jaziry. Kitab Al-fiqh, (Beirut: Darul fikri,
2004), h. 244.
[10] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Wacana Ulama & Cendekiawan,
(Jakarta, 2006), h. 131
[11] Abu al-Walid M ibnu
Ahmad ibnu Rusyd al-Qurthuby al-Andalusy, Bidayatul
Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut: Darul Fikri, 2004) h. 162.
[12] Ibnu Hajar
Al-‘Atsqolany. Bulughul Maram min
Adillatil ahkam, (Surabaya: Mutiara
Ilmu, 2011), h.382-383.
[13] Veithzal Rivai. dkk, Islamic Bussiness and Economic Ethics:
Mengacu pada Al-Qur’an dan Mengikuti Jejak Rasulullah SAW dalam Bisnis,
Keuangan, dan Ekonomi, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2012), h. 357.
[16] Wahbah Al-Zahily. Al-fiqhu Al-Islam wa Adillatuhu,
(Damaskus: Darul Fikri, 2007), h. 3603-3605.
[17] ‘Abdullah Alwi Haji Hassan,
Sales And Contracts Early Islamic Commercial Law, (New Delhi: Kitab Bhavan, 2006), h. 68.
[18] Wahbah Zuhaili. Fiqih Imam Syafi’i, (Jakarta Timur:
Almahira, 2008), h. 25-32.
[19] Nurul Huda dan Muhammad Haekal, Lembaga
Keuangan Islam: Tinjauan Teoretis dan Praktis, (Jakarta: Kencana, 2010), h.
50.
[20] Muhammad Tahir Mansuri, Islamic Law of Contracts and Business Transactions, (New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 2006), h. 203.
[21] Habiburrahman MuhZa, Akad
Salam, http://penabanten.blogspot.com/2011/06/akad-salam.html, di akses
tanggal 4 April 2013, pukul 8:48 WIB.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar