SYUF,AH
A.
Latar Belakang
Syariat Islam
digunakan untuk mewujudkan kebenaran dan keadilan, menyingkirkan kejahatan dan
menyingkirkan kemadharatan. Ia memiliki aturan yang lurus dan hukum-hukum yang
adil demi tujuan yang terpuji dan maksud-maksud yang mulia. Pengaturannya
didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan dan sesuai dengan hikmah dan
kebenaran. Karena itulah ketika ada persekutuan dalam benda-benda yang tidak
bergerak (seperti tanah dan rumah), seringkali terjadi kerusuhan dan menjurus
kapada tindak kejahatan sehingga sulit dilakukan pembagian terhadap barang itu,
maka pembuat syari’at yang bijaksana menetapkan Syuf’ah bagi sekutu atau mitra
usaha.
Dengan kata
lain, jika salah seorang dari dua sekutu menjual bagiannya dari benda-benda
yang tidak bergerak dan menjadi persekutuan diantara keduanya, maka bagi sekutu
yang tidak menjual, dapat mengambil bagian dari pembeli dengan harga yang sama,
sebagai upaya untuk menghindarkan kerugiannya karena persekutuan itu. Hal ini
berlaku bagi seorang sekutu selagi benda-benda yang tidak bergerak yang
disekutukan belum dibagi, tidak diketahui batasan-batasannya dan tidak
dijelaskan jalan-jalannya. Tapi jika batasan-batasan dan garis-garis pemisahnya
diketahui antara dua bagian dan jalan-jalannya dijelaskan, maka tidak ada
Syuf’ah karena dampak persekutuan dan percampur adukan hak milik sudah tidak
ada, yang karenanya ada penetapan terhadap permintaan hak untuk melepaskan
barang yang dijual dari pembeli. Dan dalm makalah ini akan diulas lebih jelas
lagi apa Syuf’ah itu, dan bagaimana filsafah dari Syuf’ah itu sendiri.
B.
Rumusan Masalah
Adapun
rumusan masalah dalam pembahasan makalah ini adalah:
1.
Apa
yang dimaksud dengan Asy-Syuf’ah?
2.
Landasan
hukum apa yang di pakai adanya Syuf’ah?
3.
Apa
saja rukun dalam Syuf’ah?
4.
Serta
apa saja syarat dalam Syuf’ah?
5.
Adakah
pewaris di dalam Syuf’ah itu?
6.
Jelaskan
filsafat Syuf’ah?
7.
Apa
hikmah dengan adanya Syuf’ah?
C.
Tujuan Pembahasan
Tujuan dari
pembahasan dalam makalah ini adalah:
1.
Mengetahui
definisi dari Asy-Syuf`ah.
2.
Mengetahui
landasan hukum yang dipakai Syuf’ah.
3.
Mengetahui
rukun-rukun serta syarat-syarat dalam Syuf’ah.
4.
Mengetahui
pewarisan dalam Syuf’ah.
5.
Mengetahui
filsafat Syuf’ah.
6.
Mengetahui
hikmah adanya Syuf’ah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Al-Syuf’ah
Asy-Syuf’ah
berasal dari kata Asy-Syaf’u yang berarti Adh-Dhammu (menggabungkan),
hal ini dikenal di kalangan orang-orang Arab. Pada zaman jahiliyah, seseorang
yang akan menjual rumah atau kebun didatangi oleh tetangga, partner (mitra
usaha) dan sahabat untuk meminta Syuf’ah (penggabungan) dari apa yang dijual.
Kemudian ia menjualkannya, dengan memprioritaskan yang lebih dekat hubungannya
daripada yang lebih jauh. Pemohonnya disebut sebagai Syafi’.[1]
Sedangkan
menurut syara’ Syuf’ah adalah, pemilikan barang Syuf’ah oleh Syafi’ sebagai
pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang kepada pemiliknya, sesuai
dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.[2] Berbeda
dengan para ulama menafsirkan al-syuf’ah adalah sebagai berikut :
1.
Menurut Syaikh Ibrahim al-Bajuri[3]
bahwa yang dimaksud dengan al-syuf’ah ialah :
“Hak memiliki sesuatu secara paksa ditetapkan untuk
syarik terdahulu atas syarik yang baru disebabkan adanya syirkah dengan
penggantian (i’wadh) yang dimilikinya, disyariatkan untuk mencegah
kemudharatan.”
2.
Menurut Sayyid sabiq, al-syuf’ah
ialah pemilika benda-benda syuf’ah oleh syafi’i sebagai pengganti dan pembeli
denan membayar harga brang kepada pemiliknya sesuai dengan nilai yang biasa
dibayar oleh pembeli lain.[4]
3. Menurut
Idris ahmad,[5]
Al-syuf’ah ialah hak yang tetap secara paksa bagi syarikat lama atas syarikat
barudengan jalan ganti kerugian pada benda yang menjadi milik bersama.
Setelah diketahui ta’rif-tar’rif yang dikkemukakan
oleh para ulama beserta contohnya, kiranya dapat dipahami bahwa al-syuf’ah
ialah pemilikan oleh seorang syar’riq dan dua orang atau pihak yang berserikat
dengan paksaan terhadap benda syirkah.
Dari
pengertian para ulama- ulama tersebut dapat di ambil kesimpulan bahwa
as-syuf’ah adalah penggabungan secara paksa atas suatu hak yang sudah dijual ke
pihak lain supaya dijual kembali kepada pihak yang lebih berhak, yakni anggota
perserikatan (syarikah). Dalam kerangka inilah, syuf’ah berarti pemilikan barang
yang diperkongsikan (al masyfu’) oleh pihak yang bergabung pada suatu
persekutuan milik secara paksa dari pihak yang membeli dengan cara mengganti
nilai harga jual yang sudah dilakukan [6].
Dengan
istilah lain dapat pula dikatakan bahwa syuf’ah adalah pemilikan harta
perserikatan yang telah dijual oleh salah satu pihak ke pihak lain yang tidak
termasuk dalam persekutuan itu serta tidak pula seizin anggota persekutuan
dengan cara mengganti uang penjual ke pihak pembeli. Dengan demikian syuf’ah
tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak tergabung dalam perserikatan
(syarikah), atau syuf’ah juga tidak bisa dilakukan oleh syafi’ terhadap
penjualan milik bersama oleh perseorangan bila penjualan itu dilakukan setelah
memperoleh persetujuan atau kerelaan anggota perserikatan (syarikah) terlebih
dahulu atau karena ketidak sanggupan para pemilik untuk membeli atau mengganti
hak milik anggota yang menjual miliknya itu.
Di sisi
lain, anggota persekutuan yang ingin melepaskan haknya dari anggota pemilikan
bersama itu berkewajiban terlebih dahulu menawarkan kepada para pemegang hak
perkongsian. Jika tidak ditawarkan terlebih dahulu maka, orang orang yang
terlibat dalam syarikah selain yang menjual haknya, dapat melakukan syuf’ah.
قَضاى رَسُوْلُ اللهِ صَلّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُفْعَةِ فِى كُلِّ شِرْكَةٍ لَمْ تُقْسَمْ رُبْعَةٌ
أَوْحَاءِطٌ لاَيَحِلُّ لَهُ أَنْ يَبِيْعَ حَتّى يُٶذِنَ شَرِيْكُهُ فَإِنْ شَآءَ
أَخَذَ وَإِنْ شَآءَ تَرَكَ فَاإِذَا بَاعَ وَلَمْ يُٶْذِنْهُ فَهُوَ اَحَقُّ بِه
“Rasulullah saw telah menetapkan adanya hak syuf’ah
atas tiap perserikatan terhadap rumah atau kebun. Tidak dihalalkan seorang
diantara anggota persekutuan itu menjual barang yang mereka miliki sebelum izin
perserikatannya. Jika seorang anggota perserikatan itu ingin (membeli hak hak
yang akan dijual oleh partnernya) maka ia boleh mengambil dan bila ia tidak
berminat, ia pun boleh meninggalkannya. Jika penjualan itu berlangsung tanpa
seizin para koleganya dalam pemilikan itu, maka para anggota perserikatan
itulah yang paling berhak atas bagian yang dijual tersebut”.[7]
B.
Landasan Hukum Al- Syuf’ah
Dasar hukum Syuf’ah adalah as-Sunnah, dan umat Islam telah
sepakat akan pensyariatannya,
diantaranya adalah hadits-hadits berikut ini:
Dari Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, bahwa
Rasulullah saw.menetapkan Syuf’ah untuk barang yang pembagian kepemilikannya
belum jelas (untuk barang yang belum dipecah). Apabila telah ada had (batasan)
secara jelas dan dapat dibedakan, maka tidak lagi berlaku Syuf’ah.[8](Shahih:
Shahih Ibnu Majah no: 2028, Fathul Bari IV: 436 no: 2257 dan lafadz ini milik
Imam Bukhari, ’Aunul Ma’bud IX: 425 no: 3497, Ibnu Majah II: 835 no: 2499 dan
Tirmidzi II: 413 no: 1382 tanpa kalimat terakhir).
Dari Jabir r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Barangsiapa
mempunyai (kebun) kurma, atau sebidang tanah, maka ia tidak boleh menjualnya
sebelum menawarkannya kepada rekan sekongsinya.” (Shahih: Shahih Ibnu Majah
no: 2021 dan Ibnu Majah II: 833 no: 2492 dan Nasa’i VII: 319).[9]
Dari Abu Rafi’ r.a. bahwa Rasulullah saw bersabda, “Kawan
sekongsi itu lebih berhak atas apa yang dekat dengan dia.” (Shahih: Shahih
Ibnu Majah no: 2027 dan Ibnu Majah II: 834 no: 2498).[10]
C.
Rukun dan
Syarat-syarat Al-Syuf’ah
Rukun-rukun
Syuf’ah[11]
diantaranya :
Barang
yang diambil (sebagian yang sudah diambil), syaratnya keadaan barang tidak
bergerak. Menurut Mohd saramadan akmal, “Syuf’ah
(co-ownership) is only applicable to immovable property (aqar). A B - owned by
2 person, A and B -B wants sell to C -B must ask A first -if B not asking,
there will several problems occurred. If the property is movable (manqul), most
of jurist said that syuf’ah can’t be applied”. [12]Adapun barang yang bergerak berarti dapat dipindahkan, dan tidak
berlaku padanya Syuf’ah, melainkan dengan jalan mengkuti kepada yang tidak
bergerak.
Orang
yang mengambil barang (partner lama); disyari’atkan keadaannya orang yang tidak
bersyari’at pada zat yang diambil, dan memiliki akan bagiannya. Maka tetangga
tidak berhak mengambil Syuf’ah menurut madzhab Syafi’i, begitu juga yang
bersyari’at pada manfaat, dan orang yang mempunyai hak pada harta wakaf.
Yang
dipaksa (partner baru); syaratnya keadaan barang dimilikinya dengan jalan
bertukar, bukan dengan jalan pusaka atau wasiat ataupun pemberian.
Syarat-syarat Asy Syuf’ah[13] :
Barang
yang di Syuf’ahkan berbentuk barang tak bergerak, seperti: tanah, rumah dan
yang berkaitan dengannya secara tetap, misalnya: tanaman, bangunan,
pintu-pintu, atap-atap rumah, dan semua yang termasuk dalam penjualan pada saat
dilepas.
Berdalil kepada hadits dari Jabir
r.a.:
قَضَى
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِوَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ فىِ كُلِّ شِرْكَةٍ
لَمْ تُقْسَمْ : رُبْعَةٍ أَوْحَائِطٍ.
“Rasulullah menetapkan Syuf’ah untuk segala macam barang syirkah
(perseroan) yang tidak dapat dibagi-bagi seperti: rumah atau kebun”.
Berbeda dengan
pendapat penduduk Makkah dan ad-Dhahiriyah, serta suatu riwayat dari Ahmad.
Mereka mengatakan: “Bahwa Syuf’ah berlaku untuk segala jenis”. Karena
bahaya yang mungkin dapat terjadi pada partner dalam jual-beli barang tak
bergerak, dapat pula terjadipada barang yang dapat dipindahkan. Mereka berdalil
kepada hadits yang diriwayatkan oleh Jabir:
قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ
فىِ كُلِّ شَيْئٍ
“Rasulullah
menetapkan Syuf`ah untuk segala jenis”.
Dalil lain
adalah hadits riwayat Ibnu Abbas r.a., bahwa Nabi saw., bersabda:
اَلشُّفْعَةُ فِيْ كُلِّ شَيْئٍ
“Syuf’ah
berlaku untuk segala jenis”.
Ath-Thahawi
mengeluarkan kesaksian dari hadits Jabir dengan isnad yang dapat dipercaya, dan
Ibnu Hazm mendukung hadits ini. Ia mengtakan: “Syuf’ah wajib pada setiap
penjualan barang musya’ yang tidak dapat dibagi antara dua orang atau lebih,
dalam bentuk apapun yang pada awalnya
terbagi-bagi berupa, tanah pohon (satu atau lebih), budak pria, budak wanita,
pedang, makanan, binatang atau apa saja yang tidak dapat dijual”.
Orang yang membeli secara Syuf’ah, adalah partner dalam barang
tersebut. Dan perkongsian mereka lebih dulu terjalin sebelum penjualan, dan
tidak adanya perbedaaan batasan antara keduanya, hingga barang itu menjadi
milik mereka berdua secara bersamaan. Dalil yang disyaria’atkan assuf’ah adalah dari sunnah dan kesepakatan
ulama, adapun dari sunnah ada hadist yang banyak, diantarannya:[14]
Dari
Jabir r.a., berkata:
قَضَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِالشُّفْعَةِ
فىِ كُلِّ ماَلَمْ يُقْسَمْ, فَإِذاَوَقَعَةِالْحُدُوْدُوَصُرِّفَتِّ الطُّرُقُ
فَلاَ شُفْعَةَ (رواه
الخمسة)
“Rasulullah
menetapkan Syuf’ah untuk segala jenis yang belum dibagi/dipecah. Dan apabila
terjadi had (batasan hak) kemudian pembedaan hak sudah jelas, maka tidak ada
lagi Syuf’ah”. Riwayat Al-Khamsah.
Artinya bahwa Syuf’ah
yang berlaku untuk semua jenis barang Musytarak (bersama) yang menjadi
milik telah dilakukan diantara keduanya, maka tidak ada lagi Syuf’ah.
Jika
didalam Syuf’ah berlaku untuk perkongsian, maka sesungguhnya dia berlaku untuk
barang yang dapat dibagi. Partner dipaksakan untuk membagi dengan syarat ia
dapat memanfaatkan bagiannya itu, seperti ketika barang tersebut belum dibagi.
Oleh karena itu, Syuf’ah tidak berlaku untuk barang yang apabila dibagi/dipecah
manfaatnya menjadi tidak ada.
Barang
yang di Syuf’ahkan keluar dari pemilikan tuannya dengan jalan penggantian
harta, seperti dijual atau yang berpengertian dijual seperti pengakuan
(pernyataan) dengan jalan damai, atau karena adanya faktor jinayat, atau
hibah dengan penjualan dengan cara tertentu. Karena pada hakekatnya ini adalah
penjualan. Madzhab Hanafi berpendapat bahwa Syuf’ah hanya berlaku bagi barang
yang dijual saja, dengan berlandaskan pada makna lahiriah hadits dalam Bab ini.
Syafi`
meminta dengan segera.
Maksudnya, bahwa
Syafi’ jika telah mengetahui penjualan ia wajib meminta dengan segera, jika hal
itu memungkinkan. Jika
ia telah menegetahuinya lalu mengulur waktu tanpa adanya halangan, maka haknya
menjadi gugur.[15] Sebabnya,
karena jika Syafi’ memintanya dengan segera atau ia memperlambat permintaannya,
hal ini akan berbahaya bagi si pembeli. Kerena pemilikanya terhadap barang yang
dijual tidak sesuai (stabil) dan tidak memungkinkan ia bertindak untuk
membangunnya, karena takut tersia-sia oleh usaha dan karena ia takut diambil
segera Syuf’ah.
Syafi’ menyerahkan kepada pihak pembeli sejumlah harga
sesuai yang telah diakadkan. Kemudian Syafi’ mengambil Syuf’ah harga yang sama,
apabila jual beli itu Mitslian, atau dengan suatu nilai yang dihargakan.
Di dalam hadits Marfu` dari Jabir:
هُوَأَحَقُّ بِهِ بِاالثّمَنِ (رواه الجوزجان)
“Dia
(syafi’) lebih berhak dengan harga”. Riwayat Al-Jauzjani
Bila ia tidak
mampu menyarahkan keseluruhan harga, gugurlah Syuf’ah. Imam Malik dan mazdhab
Hanbali berpendapat: “Bahwa apabila harga itu ditangguhkan semuanya atau
sebagiannya, maka Syafi’ boleh menangguhkannya, atau membayarnya secara kredit
sesuai dengan akad di awal.
Syafi’ mengambil semua transaksi jual beli atas barang.
Apabila Syafi’ mengambil sebagian saja, maka gugur haknya secara keseluruhan.
Dan apabila Syuf’ah terjadi antara lebih dari satu orang Syafi’, sebagian
mereka melepaskannya, untuk yang sebagian lagi tak lain kecuali mengambil
keseluruhannya. Hal ini dimaksudkan agar barang tidak terpilah-pilah atas
pembeli.
Masyfu’ min hu, yaitu orang yang
mengambil syuf’ah.
Disyaratkan
pada masyfu ‘min hu bahwa ia memiliki benda telebiih dahulu secara syarikat,
contohnya ialah Umar menjual dan Rahmat memiliki sebuah rumah secara syarikat.
Umar menjual miliknya kepada Zakaria, waktu khiarnya hingga tanggal 20 januari
1992. Kemudian Rahmat menjual pula haknya kepada Fatimah. Maka zakaria dapat
melakukan tindakan Syuf’ah pada Fatimah.
Dan ada juga
orang yang harus menjual yang disebut al masyfuu’ fiih. Syarat - syaratnya
yaitu bahwa orang yang harus menjual kembali barang syuf’ah kepada anggota
syarikah ialah orang yang menerima pemindahan milik anggota syarikah melalui
jual beli atau dari tetangga, bagi yang mengakui adanya hak syu’ah bagi
tetangga. Adapun pemindahan hak milik yang bukan dengan cara jual beli,
diperselisihkan oleh para fuqaha.
Adapun cara
melakukan syuf’ah dengan syarat – syarat sebagai berikut :
a.
syuf’ah haruslah dilakukan secepat
mungkin, dalam artinya bahwa syaafi’ hendak melakukan syuf’ah maka ia mestilah
melaksanakan setelah ia mengetahui adanya pemindahan hak milik oleh anggota
persekutuannya. Bila ia memperlambat pelaksanaan syuf’ah tanpa suatu halangan
yang bisa diterima, maka hak syuf’ah akan menjadi gugur.
b.
Adapun kadar ukuran syuf’ah,
disepakati oleh para ulama bahwa jumlahnya mestilah sama denga harga jual yang
dilakukan oleh anggota perserikatan dengan pembeli, serta tidak boleh kurang.
D. Pewarisan Al-Syuf’ah
Imam Malik dan Syafi’i berpendapat bahwa Syuf’ah dapat
diwariskan dan tidak batal karena kematian. Apabila sesorang memperoleh hak
Syuf’ah, kemudian ia meninggal dunia sebelum hak itu atau ia sudah
mengetahuinya lalu meninggal dunia sebelum sempat mewariskan haknya itu kepada
ahli waris, maka hukumnya dianalogikan dengan kasus yang sama dalam persoalan
harta benda.
Imam Ahmad mengatakan: “Tidak diwariskan, kecuali jika mayit
menuntutnya”. Dan para pengikut madzhab Hanafi mengatakan: Bahwa hak ini tidak
dapat diwariskan, dan juga tidak dapat dijual sekalipun mayit menuntut Syuf’ah,
kecuali jika hakim telah memutuskannya dan kemudian ia meninggal dunia.[16]
E. Filsafah
Al-Syuf’ah
Kita semua tahu bahwa segala perintah atau
aturan baik itu bersifat samawi (berasal dari Tuhan) maupun ardhi
(buatan manusia) menyatakan adanya Syuf’ah. Syariat Nabi Muhammad yang terang benderang memperbolehkan
dan menetapkan hal ini karena adanya beberapa faedah.
Penjelasannya bahwa ada salah satu dari dua
orang yang bersekutu dan ingin menjual bagian dari rumah atau tanahnya.
Kemudian datanglah seorang pembeli yang barangkali adalah musuh bagi sekutu
yang lain dan membeli bagian ini kemudian bersandingan (bertetangga) dengannya.
Dan, kalian tahu bahwa kebanyakan tetangga apabila tidak memenuhi kriteria yang
ditentukan akan mengakibatkan kebencian dalam jiwa dan rasa dengki dalam hati.
Terlebih jika ada rasa iri dari tetangga. Maka, secara tidak langsung seseorang
telah menyakiti teman sekutunya yang lain dengan adanya tetangga ini.[17]
Barangkali orang yang membeli itu berakhlak
jelek dan jiwanya buruk yang tidak mengetahui hak tetangga, maka hal itu akan
menyakiti tetangganya. Rasulullah telah bersabda :
مَازَالَ جِبْرِيْلُ يُوَصِّنِيْ بِالْجَارِ حَتَّى ظَنَنْتُ أَنَّهُ سَيُوَرِّثُهُ
“Malaikat
Jibril selalu berpesan kepadaku untuk senantiasa berbuat baik kepada tetangga,
sehingga aku menyangka bahwa tetangga itu akan menjadi ahli waris”.
Beliau juga bersabda,
مَنْ كَانَ يُؤْمِنَ بِااللهِ وَاْليَوْمِ
الْاَخِرِ فَالْيُكْرِمْ جَارَهُ
“Barangsiapa
yang beriman kepada Allah da n hari akhir, maka hedaklah ia memuliakan
tetangganya.”
Barangkali tetangganya membutuhkan bagian ini,
misalnya untuk dijadikannya sebagai rumah, atau barang kali tokonya sempit dan
ingin memperluasnya, atau tanah itu bersebelahan dengan tanah pertaniannya dan
ia sangat membutuhkannya. Demikianlah di antara hal-hal yang memberi faedah
kepada tetangga.
Oleh karena itu, Al-Syari' yang bijaksana menjadikan dan memperbolehkan Syuf’ah. Seorang tetangga atau sekutu memiliki hak dalam prioritas
atau hak lebih dahulu daripada yang lainnya kecuali jika haknya tersebut gugur
dengan adanya halangan untuk membeli. Adapun mengenai tipu daya yang rusak atau
batil yang dijadikan pembeli untuk menyakiti tetangga, maka Al-Syari'
mengecamnya dan tidak ridha sama sekali. Namun, apabila tipu daya itu berisi
tentang penghilangan bahaya, maka diperbolehkan secara syara.[18]
F.
Tindakan
Pembeli
Tindakan pembeli terhadap harta
sebagia Syafi’i menerima syuf’ah dinyatakan sah karena ia bertindak terhdap
miliknya. Jika suatu ketika pembeli menjualnya lagi kepada orang lain, syafi’i
berhak melakukan syuf’ah terhadap salah satu dari dua penjualan. Jika pembeli
harta mengibahkannya, mewakafkannya, menyedekahkannya atau yang sejenisnya,
Syafi’i kehilangan hak syuf’ahnyasebab pemilikan barang tersebut tanpa ganti.
Tindakan pembeli yang telah
didahului oleh tindakan syuf’ah oleh Syafi’i adalah bathil sebab Syafi’i telah
melaksanakan haknya dan ada kemungkinanpembeli bermaksud mempermainkan hak
Syafi’i. Apabila seseoran berdamai dalam masalah syuf;ah aatau menjalnya dari
pembeli, menurut al-syafi’i perbuatan tersebut dinyatakan bathal dan
menggugurkan hak syuf’ahnya serta berkewajiban mengembalikan benda-benda yang
telah diambil. Menurt Imam Hanafi, Maliki dan Hanbali perbuatan itu sah dan dia
berhak memiliki apa yang telah dia usahakan untuk dia miliki dari pembeli.
G. Hikmah Al-Syuf’ah
Islam mensyari’atkan Syuf’ah untuk mencegah kemadharatan dan
menghindari permusuhan. Karena hak kepemilikan Syafi’ dari pembelian orang lain
(pihak lain) akan dapat mencegah kemungkinan adanya kemudharatan dari orang
lainyang baru saja ikut serta. Imam Syafi’i memilih pendapat bahwa yang di maksud
dengan madharat (bahaya) adalah kerugian biaya pembagian, risiko adanya
pihak baruyang ikut serta dan lainnya. Ada juga ulama yang berpendapat bahwa
maksud kemadharatan adalah risiko persekutuan.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Syuf’ah adalah pemilikan barang
syuf’ah oleh Syafi’ sebagai pengganti dari pembeli dengan membayar harga barang
kepada pemiliknya, sesuai dengan nilai yang biasa dibayar oleh pembeli lain.
Jika
didalam Syuf’ah berlaku untuk perkongsian, maka sesungguhnya dia berlaku untuk
barang yang dapat dibagi. Partner dipaksakan untuk membagi dengan syarat ia
dapat memanfaatkan bagiannya itu, seperti ketika barang tersebut belum dibagi.
Oleh karena itu, Syuf’ah tidak berlaku untuk barang yang apabila dibagi/dipecah
manfaatnya menjadi tidak ada.
Penjelasannya bahwa ada salah satu dari dua orang yang
bersekutu dan ingin menjual bagian dari rumah atau tanahnya. Kemudian datanglah
seorang pembeli yang barangkali adalah musuh bagi sekutu yang lain dan membeli
bagian ini kemudian bersandingan (bertetangga) dengannya. Dan, kalian tahu
bahwa kebanyakan tetangga apabila tidak memenuhi kriteria yang ditentukan akan
mengakibatkan kebencian dalam jiwa dan rasa dengki dalam hati. Terlebih jika
ada rasa iri dari tetangga. Maka, secara tidak langsung seseorang telah
menyakiti teman sekutunya yang lain dengan adanya tetangga ini.
DAFTAR PUSTAKA
Al-asqalani,al-hafidz
ibnu hajar, 2011. Bulughul maram. surabaya: mutiara ilmu.
Alislami.com/muamalah/11-jual-beli/290-bab-syuf`ah.html
Dahlan
Tamrin, 2012. Filsafat Hukum Islam. Malang: UIN Press.
Ibnu Rusyd.
Bidayah al Mujtahid. jilid II (Mesir:
Syarikah Maktabah wa Mathba’ah al Babiy al Halabiy wa Awlaidh,1960).
Idris
Ahmad, 1986. fiqh al- Syafiiyah, Jakarta
: Karya Indah.
Karim helmi,
1993. Fiqh Muamalah. Jakarta : Rajawali
Press.
Lil
Imam Alqodi Abu Waydimuham Ibnu Ahmad, Bidayatu Mujtahid (Darul kitab Al
Arabiyah), juz 1.
Mohd
saramadan akmal, concept and types of
property in islamic law and western law Islamic, (Book Service : Lahore,
1989).
Rasjid Sulaiman, 1976. Fiqh
Islam. Jakarta: Attahiriyah.
Sayyid Sabiq, 1997. Fiqih
Sunnah. Kairo: Dar al-fiqr.
Sulaiman
Rasyid, 1976. Fiqh Islam, Jakarta:
Attahiriyah.
Syaikh Ibrahim
al-Bajuri, al-Bajuri . Usaha
Keluarga: Semarang.
Tamrin Dahlan, 2012. Filsafat
Hukum Islam. Malang: UIN Press.
[1]Sayyid
Sabiq, fiqh al-sunnah, (Dar al-fiqr:
Kairo, 1997), hl 45.
[2]Ibid, hl 45.
[3] Syaikh
Ibrahim al-Bajuri, al-Bajuri, (Usaha
Keluarga: Semarang, t.t), hl 15.
[4] Ibid, hl
45.
[5] Idris
Ahmad, fiqh al- Syafiiyah, (Karya
Indah: Jakarta, 1986), hl 121.
[6]Karim,helmi Fiqh
Muamalah, Rajawali Press, 1993
[7]Al-asqalani,al-hafidz
ibnu hajar,2011,bulughul maram,surabaya: mutiara ilmu hl 406.
[8]Ibid, 45
[9]
Alislamu.com/muamalah/11-jual-beli/290-bab-syuf`ah.html
[10] Ibid,
[11]Sulaiman
Rasyid, Fiqh Islam, Attahiriyah. Jakarta: 1976, hlm 321
[12] Mohd
saramadan akmal, concept and types of
property in islamic law and western law Islamic, (Book Service : Lahore,
1989).
[13]Sayyid
Sabiq, Fiqih Sunnah..hlm, 48-53
[14] Lil
Imam Alqodi Abu Waydimuham Ibnu Ahmad, Bidayatu Mujtahid (Darul kitab Al
Arabiyah), juz 1.
[15] Ibnu Rusyd,
Bidayah al Mujtahid, jilid II (Mesir: Syarikah Maktabah wa Mathba’ah al Babiy
al Halabiy wa Awlaidh,1960), hlm. 193.
[16] Ibid,
54
[17] Dahlan
Tamrin, Filsafat Hukum Islam, UIN Press. Malang: 2012 ,hlm 27
[18] Ibid,
28
Tidak ada komentar:
Posting Komentar