ISTHISNA'
A. LATAR BELAKANG
Dalam literatur fiqih klasik, masalah
istishna' mulai mencuat setelah menjadi bahan bahasan mazhab Hanafl seperti
yang dikemukakan dalam Majullat al Ahkarn al-adliya. Akademi Fiqh Islami pun
menjadikan masalah ini sebagai salah satu bahasan khusus. Karena itu, kajian
akad bai 'al istishna' ini didasarkan pada ketentuan yang dkembangkan oieh
fiqih Hanafi dan perkembangan fiqih
selanjutnva, dilakukan fuqaha kontemporer.
Akad istishna
adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barangtertentu dengan
kriteria dan persyaratan tertentu. Istishna dapat dilakukan langsung antaradua
belah pihak antara pemesan atau penjual seperti, atau melalui perantara. Jika
dilakukanmelalui pearantara maka akad disebut dengan akad istishna paralel.
Walaupun istishna adalah akad jual beli, tetapi memiliki perbedaan dengan
salammaupun dengan murabaha. Istishna lebih ke kontrak pengadaan barang yang
ditangguhkan dandapat di bayarkan secarra tangguh pula. Istishna menurut para
fuqaha adalah pengembangan dari salam, dan di izinkan secarasyari’ah. Untuk
pengakuan pendapatan istishna dapat dilakukan melalui akad langsung danmetode
persentase penyelesaian. Di mana metode persentase penyelesaian yang
digunakanmiris dengan akuntansi konvensional, kecuali perbedaan laba yang di
pisah antara margin labadan selisih nilai akad dengan nilai wajar.
Tujuan mempelajari akutansi istishna itu sendiri adalah
untuk memhami apa itu yang dimaksud denga akutansi istishna, selain itu juga
untuk mempelajari jenis-jenis dari istishna, serta menganalisis ruang lingkup
dari istishna itu sendiri.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan istishna’?
2. Apa sajakah yang termasuk rukun dan
syarat istisna serta hal-hal seputar akad istishna’?
3. Bagaimana aplikasi akad istishna’ pada bank
dan lembaga keuangan syariah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
BA’I Al-ISTISHNA’
1.
DEFINISI
BA’I Al-ISTISHNA’
Istishna' (استصناع) adalah bentuk ism mashdar dari kata
dasar istashna'a-yastashni'u(اتصنع
- يستصنع). Artinya meminta orang lain untuk
membuatkan sesuatu untuknya.Dikatakan : istashna'a fulan baitan,
meminta seseorang untuk membuatkan rumah untuknya.[1]
Sedangkan menurut sebagian kalangan ulama dari
mazhab Hanafi, istishna' adalah (عقد
على مبيع في الذمة شرط فيه العمل). Artinya, sebuah akad untuk
sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya. Sehingga bila
seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat
sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan
orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab
ini.[2]
Senada dengan definisi di atas, kalangan ulama
mazhab Hambali menyebutkan (بيع سلعة ليست
عنده على وجه غير السلم). Maknanya adalah jual-beli barang
yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal
ini akad istishna' mereka samakan dengan jual-beli dengan pembuatan (بيع
بالصنعة).[3]
Namun kalangan Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah
mengaitkan akad istishna' ini dengan akad salam. Sehingga definisinya juga
terkait, yaitu (الشيء المسلم للغير من
الصناعات), yaitu suatu barang yang
diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.[4]
Dalam buku Wahbah Zuhaily yang judulnya al Fiqh al Islamy wa
Adillatuhu juz IV, defenisi istisna adalah :
تعريف الاستصناع هو عقد مع صانع علي عمل شىء معين في الذمة, اي العقد علي شراء ما
سيصنعه الصانع و تكون العين و العمل من الصانع, فاذ كانت العين من المستصنع لا من
الصانع فان العقد يكون اجارة لا استصناعا, وبعض الفقهاء يقول: ان المعقود عليه هو
العمل فقط, لان الاستصناع طلب الصنع وهو العمل. و ينعقد الاستصناع بالايجاب
والقبول من المستصنع والصانع.
Dapat
kami ambil kesimpulan bahwa adapun maksud dari pengertian tersebut adalah materi objek harus dari produsen. Jika
disediakan oleh pelanggan, dan produsen telah menggunakan tenaga kerja dan
keterampilan saja, itu tidak akan menjadi kontrak 'istisna.[5]
Jadi secara sederhana, istishna' boleh disebut
sebagai akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang
produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2
membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang
disepakati antara keduanya.
2.
DASAR
HUKUM BA’I AL-ISTISHNA’ (Masyru'iyah)
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan
secara syar'i di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan
muslimin.
2.1.
Al-Quran
وَأَحَلَّ
اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah
telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan
ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan
adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan
shahih.
2.2.
As-Sunnah
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه
أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ
أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَيَقْبَلُونَ
إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى
أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari
Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu
dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat
yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia
dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan
sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR.
Muslim)
Perbuatan
nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan.[6]
2.3.
Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat
Islam secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad
istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala
tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian,
tidak ada alasan untuk melarangnya. [7]
2.4.
Kaidah Fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab
fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal
selain ibadah:
الأصل
في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Hukum
asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan
keharamannya.
2.5.
Logika
Orang membutuhkan barang yang spesial dan sesuai
dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan
demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk
memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak
dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang
tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak
mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.[8]
B. RUKUN
BA’I AL-ISTISHNA’ DAN SYARAT ISTISHNA’ SERTA HAL-HAL SEPUTAR AKAD ISTISHNA’
RUKUN
BA’I AL-ISTISHNA’
Akad istishna' memiliki 3 rukun yang harus terpenuhi
agar akad itu benar-benar terjadi : [1] Kedua-belah pihak, [2] barang yang
diakadkan dan [3] shighah (ijab qabul).
1.
Kedua-belah pihak
Kedua-belah pihak maksudnya adalah pihak
pemesan yang diistilahkan dengan mustashni' (المستصنع) sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang
dimintakan kepadanya pengadaaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang
diistilahkan dengan sebutan shani' (الصانع).
2.
Barang yang diakadkan
Barang yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal (المحل) adalah rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi
objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus
diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi.[9]
Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi,
akadnya bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan
pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut
yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.[10]
3.
Shighah (ijab qabul)
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah
lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan
sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak
yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu.
SYARAT
PADA AKAD ISTISHNA’
Dengan memahami hakekat akad istishna', kita dapat
pahami bahwa akad istishna' yang dibolehkan oleh Ulama mazhab Hanafi memiliki
beberapa persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad salam diantaranya:
·
Penyebutan
& penyepakatan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan, persyaratan
ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat
jatuh tempo penyerahan barang yang dipesan.
·
Tidak
dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu penyerahan barang, maka
akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga berlaku padanya
seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah.
Akan
tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan
menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu
penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena
demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna'. Dengan
demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan,
karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum syari'at.[11]
·
Barang
yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad istishna'.
Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna'.
Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi
umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala.
Dengan
demikian, akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh
masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Adapun selainnya, maka
dikembalikan kepada hukum asal. Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil
dibolehkannya akad istishna', maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak
kuat. Betapa tidak, karena akad istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat
islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Bila
demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk membatasi akad istishna' pada
barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema istishna' saja.
HAL-HAL SEPUTAR
AKAD ISTISHNA’
1. Hakikat Akad Istishna'
Ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang hakekat
akad istishna' ini. Sebagian menganggapnya sebagai akad jual-beli barang yang
disertai dengan syarat pengolahan barang yang dibeli, atau gabungan dari akad
salam dan jual-beli jasa (ijarah).[12]
Sebagian lainnya menganggap sebagai 2 akad, yaitu
akad ijarah dan akad jual beli. Pada awal akad istishna', akadnya adalah akad
ijarah (jual jasa).
Setelah barang jadi dan pihak
kedua selesai dari pekerjaan memproduksi barang yang di pesan, akadnya berubah
menjadi akad jual beli.[13]
Nampaknya pendapat pertama lebih selaras dengan
fakta akad istishna'. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen
hanya melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan menyatakan kesiapannya
membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen, dengan syarat ia mengolahnya
terlebih dahulu menjadi barang olahan yang diingikan oleh pemesan.
2.
Perbedaan Salam Dan Istishna’
Menurut
jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli
sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-ma’dum). Menurut
fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam dengan istisna’, yaitu
:
- Cara pembayaran dalam salam
harus di lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’
dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di
kemudian hari.
- Salam mengikat para pihak yang
mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk
melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen
yang tidak bertanggungjawab.[14]
Perbandingan
Antara Bai’ as-Salam dan bai’ al-Istishna’ [15]
SUBJEK
|
SALAM
|
ISTISHNA
|
ATURAN DAN KETERANGAN
|
Pokok Kontrak
|
Muslam Fiihi
|
Mashnu’
|
Barang di tangguhkan dengan
spesifikasi.
|
Harga
|
Di bayar saat kontrak
|
Bisa saat kontrak, bisa di angsur,
bisa dikemudian hari
|
Cara penyelesaian pembayaran
merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’.
|
Sifat Kontrak
|
Mengikat secara asli (thabi’i)
|
Mengikat secara ikutan (taba’i)
|
Salam mengikat semua pihak sejak
semula, sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen
sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak
bertanggung jawab.
|
Kontrak Pararel
|
Salam Pararel
|
Istishna’ Pararel
|
Baik salam pararel maupun
istishna’ pararel sah asalkan kedua kontrak secara hukum adalah terpisah.
|
3.
Perbedaan Istishna’ dengan Ijarah
Tim Pengembangan Perbankan Syariah
Insitut Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan
dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual
beli suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’,
bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika
bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.
Perlu diingatkan disini bahwa ketika mengerjakan pesanan
barang dengan akad istisna’, bahan mentah yang digunakan untuk memproduksi
barang pesanan istisna’ harus berasal dari pabrik atau industri rumah tangga
itu dan bukan dari si pemesan/pembeli. Jika bahan mentah tersebut diberikan
dari si pemesan/pembeli, dan pabrik atau industri rumah tangga tersebut hanya
menyediakan skill/keahliannya untuk memproduksi barang pesanan, maka yang
terjadi adalah akad ijarah dengan dengan memberikan ujrah/upah atas kerja
pabrik atau industri rumah tangga tersebut dan bukannya istisna’.
4.
Penetapan Waktu Penyerahan Istishna'
Ada tiga pendapat di dalam mazhab Hanafi yang berhubungan dengan
penetapan tanggal penyerahan mashnu;
·
Imam Abu Hanifa menolak penetapan tanggal pada masa yang
akan datang untuk penyerahan mashnu' Jika suatu tanggal ditetapkan, maka kontrak
berubah menjadi bai' as salam karena ini merupakan ciri dari akad yang mengikat
seperti bai'as salam bukan ciri bai' al istishna’ yang terbuka atas
pilihan-pilihan.
·
Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hassan Asy Syaibani, dua murid dan
sahabat Abu Hanifa menerima syarat penetapan tanggal pada masa yang akan datang
Alasannya, orang-orang telah mempraktekkan istishna' dengan cara seperti itu.
·
Tetapi Abu Hanifa dan kedua sahabatnya bersepakat jika
tanggal penyerahan dalam suatu akad istishna’ ditetapkan, dan tidak sesuai
dengan apa yang lazimnya dipraktekkan, maka akad bai’ al istishna‘ tersebut
berubah menjadi akad bai as salam.[16]
5.
Konsekuensi Akad Istishna'
Imam Abu Hanifah dan kebanyakan pengikutnya
menggolongkan akad istishna' ke dalam jenis akad yang tidak mengikat. Dengan
demikian, sebelum barang diserahkan keduanya berhak untuk mengundurkan diri
akad istishna'; produsen berhak menjual barang hasil produksinya kepada orang
lain, sebagaimana pemesan berhak untuk membatalkan pesanannya.
Sedangkan Abu Yusuf murid Abu Hanifah, memilih
untuk berbeda pendapat dengan gurunya. Beliau menganggap akad istishna' sebagai
salah satu akad yang mengikat. Dengan demikian, bila telah jatuh tempo
penyerahan barang, dan produsen berhasil membuatkan barang sesuai dengna
pesanan, maka tidak ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan diri dari
pesanannya. Sebagaimana produsen tidak berhak untukmenjual hasil produksinya
kepada orang lain.[17]
Menurut kami, pendapat Abu Yusuf inilah yang lebih kuat, karena kedua belah pihak telah
terikat janji dengan saudaranya. Bila demikian, maka keduanya berkewajiban
untuk memenuhi perjanjiannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوطِهِمْ. رواه أبو داود والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
"Kaum muslimin senantiasa memenuhi
persyaratan mereka." ( Hadis Riwayat Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqy dan dinyatakan sebagai hadits
shahih oleh Al Albany )
6.
Penghentian Kontrak Ba’i
al Istishna'
Kontrak ba'i al istishna' bisa dihentikan berdasarkan kondisi-
kondisi berikut ini:
1.
Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak.
2.
Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kontrak.
3.
Pembatalan hukum kontrak. Ini jika muncul sebab yang masuk akal
untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesai- annya, dan
masing-masing pihak bisa menuntut pembatalannya.
C.
ISTISHNA’ PARALEL & APLIKASINYA PADA PERBANKAN
DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
Dalam sebuah kontrak bai’
al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontrakator
untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat
kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama.
Kontrak baru ini di kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat dilakukan
dengan syarat:(a) akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad
pertama antara bank dan pembeli akhir dan (b) akad kedua di lakukan setelah
akad pertama sah.
Akad istishna yang digunakan dalam bank syariah adalah
istishna parallel, aplikasinya dipergunakan pada pembiayaan manufaktur dan
konstruksi yang pembayarannya dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lama.
Sehingga pembayaran dapat dilakukan sekaligus atau bertahap. Ada
beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak pararel. Diantaranya
sebagai berikut.
- Bank
Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak
yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’ pararel
atau subkontrak untuk sementara harus di anggap tidak ada. Dengan demikian
sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas
setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari
kontrak pararel.
- Penerima
subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab terhadap
Bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara
langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua
merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk
kontrak pertama. Dengan demikian kedua kontrak tersebut tidak memunyai
kaitan hukum sama sekali.
- Bank
sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang,
bertanggungjawab kepada nasabah atas pelaksanaan subkontraktor dan jaminan
yang timbul darinya. Kewjiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna’
pararel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau
ada.
Dalam buku yang dikarang oleh Dr. Muhammad Tahir Mansuri yang judulnya “Islamic Law of Contracs
and Bussines Transactions” mengatakan bahwa :
Islamic Banks and Financial Institutions use istisna'
as a mode of financing. They finance the construction of houses factories on a
piece of land belonging to client. The house or factory is constructed either
by the financier himself or by a construction company. In this latter case, the
bank enters a sub-contract with that construction company. But if the contract
concluded between the bank, i.e, the financier, and the client provides
specifically that the work will be carried out by the financier himself, then
the sub-contract is not valid. In such a case, it is necessary that the bank
should have its own construction company and expert contractors to discharge
the task.
The financier in the
contract of istifna' for the purpose of construction is under obligation
to construct house in conformity with the specifications detailed in the
agreement. Some agreements provide that the financier will be liable for any
defect in construction and destruction of the building during the period
specified in the contract.
In case the financier
assigns the task of construction to a third party, it is necessary that it
should supervise construction work in a regular manner, the price of
construction may be paid by the client at the time of agreement and may be
postponed till the time of delivery or any other time agreed upon between the
parties. The payment may be in lump sum or in installments. In order to secure
the payment of installments, the title deeds of the house or land may be kept
by the hank as security till the last installment is paid by the client.
The mode of istifna'
is used also for digging wells and water canals. Islamic banks finance the
agricultural sectoF through this mode and play their effective role in activating
this important sector of economy.
Artinya adalah :
Bank Islam dan Lembaga Keuangan menggunakan 'istisna
sebagai model pembiayaan. Mereka membiayai pembangunan pabrik rumah di sebidang
tanah milik klien. Rumah atau pabrik dibangun baik oleh pemodal sendiri atau
oleh sebuah perusahaan konstruksi. Dalam kasus yang terakhir ini, bank memasuki
sub-kontrakdengan perusahaan konstruksi. Tetapi jika kontrak dibuat antara
bank, yaitu, pemilik modal, dan klien menyediakan secara khusus bahwa pekerjaan
akan dilakukan oleh pemodal sendiri, maka sub- kontrak tidak valid. Dalam kasus
seperti itu, perlu bahwa bank harus memiliki konstruksi sendiri perusahaan dan
kontraktor ahli untuk melaksanakan tugas.
Pemodal dalam kontrak 'istisna bertujuan/berkewajiban
untuk membangun rumah sesuai dengan spesifikasi rinci dalam perjanjian.
Beberapa perjanjian tersebut mengatur bahwa pemodal akan bertanggung jawab atas
setiap cacat dalam konstruksi dan penghancuran bangunan selama periode yang
ditentukan dalam kontrak.
Dalam hal pemilik modal memberikan tugas konstruksi
kepada pihak ketiga, perlu diingat bahwa hal itu harus mengawasi pekerjaan
konstruksi secara rutin, harga konstruksi dapat dibayar oleh klien pada saat
perjanjian dan dapat ditunda sampai saat selesai atau waktu lain yang
disepakati kedua belah pihak. Pembayaran mungkin dalam bentuk cicilan. Dalam
rangka untuk menjamin pembayaran angsuran, surat dari rumah atau tanah dapat
disimpan oleh bank sebagai jaminan sampai angsuran terakhir dibayar oleh klien.
Model istisna’ digunakan juga untuk menggali sumur dan air kanal. Bank syariah
membiayai sector pertanian melalui model ini dan memainkan peran yang efektif
dalam mengaktifkan sektor penting dari perekonomian.[18]
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi
dengan sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi, salah satunya
adalah jual beli yang melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan pembeli.
Biasanya penjual adalah produsen , sedangkan pembeli adalah konsumen konsumen.
Pada kenyataannya, konsumen kadang memerlukan barang yang belum di hasilkan
sehingga konsumen melakukan transaksi jual beli dengan produsen dengan cara
pesanan. Di dalam perbankan syariah, jual beli Istishna’ lazim di tetapkan pada
bidang konstruksi dan manufaktur.
Contoh Kasus Istishna’
:
CV. Selayang Pandang yang bergerak dalam bidang pembuatan
dan penjualan sepatu memperoleh order untuk memebuat sepatu anak sekolah SMU
senilai RP. 60.000.000,-.dan mengajukan permodalan kepada Bank Syariah Plaju.
Harga perpasang sepatu yang di ajukan adalah Rp.85.000,- dan pembayarannya di
angsur selama tiga bulan. Harga perpasang sepatu di pasaran sekitar rp.
90.000,-. Dalam hal ini Bank Syariah Plaju tidak tahu berapa biaya pokok
produksi. CV.Selayang Pandang hanya memberikan keuntungan Rp. 5.000,- perpasang
atau keuntungan keseluruhan adalah RP. 3.529.412,-yang diperoleh dari hitungan
Rp. 60.000.000/Rp. 85.000xRp. 5.000 = rp. 3.529.412.
Bank Syariah Plaju dapat menawar harga yang diajukan oleh
CV. Selayang Pandang dengan harga yang lebih murah, sehingga dapat dijual kepada masyarakat dengan
harga yang lebih murah pula. Katakanlah misalnya Bank Syariah Plaju menawar
harga Rp. 86.000,-per pasang, sehingga masih untung Rp. 4.000,- perpasang
dengan keuntungan keseluruhan adalah:
Rp. 60.000.000/Rp. 86.000xRp. 4.000 = Rp. 2.790.697[19]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Istishna merupakan kontrak penjualan antara
penjual dan pembeli dimana pembeli memesan barang terlebih dahulu kepada
penjual dengan spesifikasi tertentu kemudian pembayaran disepakati oleh kedua
belah pihak yaitu dimuka, dengan cara cicilan atau ditangguhkan. istishna
parallel adalah istishna yang merupakan gabungan dari dua transaksi Istishna’
yang dilakukan secara simultan. Bank syariah memakai skema ini dalam
pembiayaannya. Semisal nasabah memesan sebuah produk barang kepada bank syariah
dengan harga yang telah disepakati kemudian bank syariah akan memesan barang
kepada supplier yang sesuai dengan spesifikasi nasabah dengan harga yang telah
disepakati oleh kedua belah pihal (bank dan supplier) dengan harga waktu
pembayaran yang telah disepakati bersama.
Landasan hukum akad Istishna adalah QS. Al Baqarah (2)
: 282.berdasarkan ayat ini para ulama menyatakan bahwa setiap perniagaan adalah
halal kecuali yang benar – benar dinyatakan haram. Namun terdapat beberapa
perbedaan pendapat ulama mengenai istishna, yaitu ada yang mengatakan haram
(Mazhab Hambali). Pendapat kedua menyatakan akad ini boleh dijalankan asalan
memenuhi persyaratan dari akad salam (Mazhab Maliki dan Syafi’i). Pendapat
ketiga menyatakan istishna merupakan akad yang halal (Mazhab Hanafi dan ulama
fiqh jaman sekarang).
Rukun istishna terdiri dari produsen / penjual,
pemesan / pembeli, barang / jasa yang dipesan, harga barang / jasa (Tsaman),
sighot (Ijab-Qabul). Sedangkan syarat istishna adalah para pelaku istishna
harus cakap hokum, tidak melangar janji. Barang yang dipesan harus jelas dan
waktu serta pembayaran barang yang dipesan harus disepakati bersama.
Akad istishna yang digunakan dalam bank syariah adalah
istishna parallel, aplikasinya dipergunakan pada pembiayaan manufaktur dan
konstruksi yang pembayarannya dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lama.
Sehingga pembayaran dapat dilakukan sekaligus atau bertahap.
DAFTAR PUSTAKA
Al Kasaani, Badai'i As shanaai'i Jilid 5.
Antonio,
Muhammad Syafi’I, Bank Syariah wacana Ulama dan Cendekiawan, Jakarta : Tazkia Institute. 1999.
An-Nawawi, Raudhatuthalibin Jilid 4
Al-Muhadzdzab jilid 1
As Sarakhsi, Al
Mabsuth Jilid 12
http://id.shvoong.com/business-management/investing/2277065-bank-syariah-dari-teori-ke/#ixzz2OoFBg8Zk. (diakses
tanggal 01 April 2013, jam 13.00 WIB)
http://ramayamakmur.files.wordpress.com/2010/01/pengelolaan-modal-yg-di-syariatkan.pdf (diakses
tanggal 01 April 2013, jam 13.00 WIB)
Ibnul Humaam, Fathul Qadir Jilid 7
Karim, Ir.
Adiwarman A., Islamic Banking: Fiqh and Financial Analysis 3rd
Edition. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2008
Karim, Ir.
Adiwarman A., Bank Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2008.
Mansuri, Dr.
Muhammad Tahir, Islamic law of contracts and Bussines Transactions, New
Delhi : Adam Publishers & Distributors, 2006
Kasysyaf Al-Qinna' jilid 3
Perwataatmaja,
Drs. H. Karnaen, dkk, Apa dan Bagaimana Bank Islam?, Jakarta : Dana
Bakti Wakaf, 1992
Syafi’i
Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek. Jakarta:
Gema Insani
Zuhaily,
Wahbah, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu juz IV , Damaskus: Dar el-Fikr,
1989.
Zulkifli,
Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta : Zikrul Hakim,
2003
[2] Al
Kasaani, Badai'i As shanaai'i Jilid 5,
hal 2
[3] Kasysyaf , Al-Qinna'
jilid 3, hal 132
[4] An-Nawawi, Raudhatuthalibin
Jilid 4, hal 26
[5] Wahbah
Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu juz IV (Damaskus: Dar el-Fikr,
1989), hal.631-633
[14] Ir.
Adiwarman A. Karim, Islamic Banking: Fiqh and Financial Analysis 3rd
Edition.(Jakarta : 2008) hal 124-134
[15] Muhammad Syafi’i Antonio.Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek.(
Jakarta: Gema Insani,2001) hal 151-152
[18] Dr. Muhammad Tahir Mansuri, Islamic Law of Contracs and Bussines
Transactions, ( New Delhi, 2006 ) hal 65-73
Tidak ada komentar:
Posting Komentar