Rabu, 26 Juni 2013

ISTHINA'

ISTHISNA'
A.    LATAR BELAKANG
Dalam literatur fiqih klasik, masalah istishna' mulai mencuat setelah menjadi bahan bahasan mazhab Hanafl seperti yang dikemukakan dalam Majullat al Ahkarn al-adliya. Akademi Fiqh Islami pun menjadikan masalah ini sebagai salah satu bahasan khusus. Karena itu, kajian akad bai 'al istishna' ini didasarkan pada ketentuan yang dkembangkan oieh fiqih Hanafi dan perkembangan  fiqih selanjutnva, dilakukan fuqaha kontemporer.
Akad istishna adalah akad jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan barangtertentu dengan kriteria dan persyaratan tertentu. Istishna dapat dilakukan langsung antaradua belah pihak antara pemesan atau penjual seperti, atau melalui perantara. Jika dilakukanmelalui pearantara maka akad disebut dengan akad istishna paralel. Walaupun istishna adalah akad jual beli, tetapi memiliki perbedaan dengan salammaupun dengan murabaha. Istishna lebih ke kontrak pengadaan barang yang ditangguhkan dandapat di bayarkan secarra tangguh pula. Istishna menurut para fuqaha adalah pengembangan dari salam, dan di izinkan secarasyari’ah. Untuk pengakuan pendapatan istishna dapat dilakukan melalui akad langsung danmetode persentase penyelesaian. Di mana metode persentase penyelesaian yang digunakanmiris dengan akuntansi konvensional, kecuali perbedaan laba yang di pisah antara margin labadan selisih nilai akad dengan nilai wajar.
Tujuan mempelajari akutansi istishna itu sendiri adalah untuk memhami apa itu yang dimaksud denga akutansi istishna, selain itu juga untuk mempelajari jenis-jenis dari istishna, serta menganalisis ruang lingkup dari istishna itu sendiri.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa yang dimaksud dengan istishna’?
2.      Apa sajakah yang termasuk rukun dan syarat istisna serta hal-hal seputar akad istishna’?
3.      Bagaimana aplikasi akad istishna’ pada bank dan lembaga keuangan syariah?


BAB II
PEMBAHASAN
A.     BA’I Al-ISTISHNA’
1.      DEFINISI BA’I Al-ISTISHNA’
Istishna' (استصناع) adalah bentuk ism mashdar dari kata dasar istashna'a-yastashni'u(اتصنع - يستصنع). Artinya meminta orang lain untuk membuatkan sesuatu untuknya.Dikatakan : istashna'a fulan baitan, meminta seseorang untuk membuatkan rumah untuknya.[1]
Sedangkan menurut sebagian kalangan ulama dari mazhab Hanafi, istishna' adalah (عقد على مبيع في الذمة شرط فيه العمل). Artinya, sebuah akad untuk sesuatu yang tertanggung dengan syarat mengerjakaannya. Sehingga bila seseorang berkata kepada orang lain yang punya keahlian dalam membuat sesuatu,"Buatkan untuk aku sesuatu dengan harga sekian dirham", dan orang itu menerimanya, maka akad istishna' telah terjadi dalam pandangan mazhab ini.[2]
Senada dengan definisi di atas, kalangan ulama mazhab Hambali menyebutkan (بيع سلعة ليست عنده على وجه غير السلم). Maknanya adalah jual-beli barang yang tidak (belum) dimilikinya yang tidak termasuk akad salam. Dalam hal ini akad istishna' mereka samakan dengan jual-beli dengan pembuatan (بيع بالصنعة).[3]
Namun kalangan Al-Malikiyah dan Asy-Syafi'iyah mengaitkan akad istishna' ini dengan akad salam. Sehingga definisinya juga terkait, yaitu (الشيء المسلم للغير من الصناعات), yaitu suatu barang yang diserahkan kepada orang lain dengan cara membuatnya.[4]
Dalam buku Wahbah Zuhaily yang judulnya al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu juz IV, defenisi istisna adalah :
تعريف الاستصناع هو عقد مع صانع علي عمل شىء معين في الذمة, اي العقد علي شراء ما سيصنعه الصانع و تكون العين و العمل من الصانع, فاذ كانت العين من المستصنع لا من الصانع فان العقد يكون اجارة لا استصناعا, وبعض الفقهاء يقول: ان المعقود عليه هو العمل فقط, لان الاستصناع طلب الصنع وهو العمل. و ينعقد الاستصناع بالايجاب والقبول من المستصنع والصانع.
Dapat kami ambil kesimpulan bahwa adapun maksud dari pengertian tersebut adalah  materi objek harus dari produsen. Jika disediakan oleh pelanggan, dan produsen telah menggunakan tenaga kerja dan keterampilan saja, itu tidak akan menjadi kontrak 'istisna.[5]
Jadi secara sederhana, istishna'  boleh disebut sebagai akad yang terjalin antara pemesan sebagai pihak 1 dengan seorang produsen suatu barang atau yang serupa sebagai pihak ke-2, agar pihak ke-2 membuatkan suatu barang sesuai yang diinginkan oleh pihak 1 dengan harga yang disepakati antara keduanya.
2.      DASAR HUKUM BA’I AL-ISTISHNA’ (Masyru'iyah)
Akad istishna' adalah akad yang halal dan didasarkan secara syar'i di atas petunjuk Al-Quran, As-Sunnah dan Al-Ijma' di kalangan muslimin.
2.1. Al-Quran
وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبا
Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba. (Qs. Al Baqarah: 275)
Berdasarkan ayat ini dan lainnya para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah halal, kecuali yang nyata-nyata diharamkan dalam dalil yang kuat dan shahih.
2.2. As-Sunnah
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه أَنَّ نَبِىَّ اللَّهِ ص كَانَ أَرَادَ أَنْ يَكْتُبَ إِلَى الْعَجَمِ فَقِيلَ لَهُ إِنَّ الْعَجَمَ لاَيَقْبَلُونَ إِلاَّ كِتَابًا عَلَيْهِ خَاتِمٌ. فَاصْطَنَعَ خَاتَمًا مِنْ فِضَّةٍ.قَالَ:كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِهِ فِى يَدِهِ. رواه مسلم
Dari Anas RA bahwa Nabi SAW hendak menuliskan surat kepada raja non-Arab, lalu dikabarkan kepada beliau bahwa raja-raja non-Arab tidak sudi menerima surat yang tidak distempel. Maka beliau pun memesan agar ia dibuatkan cincin stempel dari bahan perak. Anas menisahkan: Seakan-akan sekarang ini aku dapat menyaksikan kemilau putih di tangan beliau." (HR. Muslim)
Perbuatan nabi ini menjadi bukti nyata bahwa akad istishna' adalah akad yang dibolehkan.[6]
2.3. Al-Ijma'
Sebagian ulama menyatakan bahwa pada dasarnya umat Islam secara de-facto telah bersepakat merajut konsensus (ijma') bahwa akad istishna' adalah akad yang dibenarkan dan telah dijalankan sejak dahulu kala tanpa ada seorang sahabat atau ulamakpun yang mengingkarinya. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarangnya. [7]
2.4. Kaidah Fiqhiyah
Para ulama di sepanjang masa dan di setiap mazhab fiqih yang ada di tengah umat Islam telah menggariskan kaedah dalam segala hal selain ibadah:
الأصل في الأشياء الإباحة حتى يدل الدليل على التحريم
Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya.
2.5. Logika
Orang membutuhkan barang yang spesial dan sesuai dengan bentuk dan kriteria yang dia inginkan. Dan barang dengan ketentuan demikian itu tidak di dapatkan di pasar, sehingga ia merasa perlu untuk memesannya dari para produsen. Bila akad pemesanan semacam ini tidak dibolehkan, maka masyarakat akan mengalamai banyak kesusahan. Dan sudah barang tentu kesusahan semacam ini sepantasnya disingkap dan dicegah agar tidak mengganggu kelangsungan hidup masyarakat.[8]


B.   RUKUN BA’I AL-ISTISHNA’ DAN SYARAT ISTISHNA’ SERTA HAL-HAL  SEPUTAR AKAD ISTISHNA’
RUKUN BA’I AL-ISTISHNA’
Akad istishna' memiliki 3 rukun yang harus terpenuhi agar akad itu benar-benar terjadi : [1] Kedua-belah pihak, [2] barang yang diakadkan dan [3] shighah (ijab qabul).
1. Kedua-belah pihak
 Kedua-belah pihak maksudnya adalah pihak pemesan yang diistilahkan dengan mustashni' (المستصنع) sebagai pihak pertama. Pihak yang kedua adalah pihak yang dimintakan kepadanya pengadaaan atau pembuatan barang yang dipesan, yang diistilahkan dengan sebutan shani' (الصانع).
2. Barang yang diakadkan
Barang yang diakadkan atau disebut dengan al-mahal (المحل) adalah rukun yang kedua dalam akad ini. Sehingga yang menjadi objek dari akad ini semata-mata adalah benda atau barang-barang yang harus diadakan. Demikian menurut umumnya pendapat kalangan mazhab Al-Hanafi.[9]
Namun menurut sebagian kalangan mazhab Hanafi, akadnya bukan atas suatu barang, namun akadnya adalah akad yang mewajibkan pihak kedua untuk mengerjakan sesuatu sesuai pesanan. Menurut yang kedua ini, yang disepakati adalah jasa bukan barang.[10]
3. Shighah (ijab qabul)
Ijab qabul adalah akadnya itu sendiri. Ijab adalah lafadz dari pihak pemesan yang meminta kepada seseorang untuk membuatkan sesuatu untuknya dengan imbalan tertentu. Dan qabul adalah jawaban dari pihak yang dipesan untuk menyatakan persetujuannya atas kewajiban dan haknya itu.

SYARAT PADA AKAD ISTISHNA’
Dengan memahami hakekat akad istishna', kita dapat pahami bahwa akad istishna' yang dibolehkan oleh Ulama mazhab Hanafi memiliki beberapa persyaratan, sebagaimana yang berlaku pada akad salam diantaranya:
·         Penyebutan & penyepakatan kriteria barang pada saat akad dilangsungkan, persyaratan ini guna mencegah terjadinya persengketaan antara kedua belah pihak pada saat jatuh tempo penyerahan barang yang dipesan.
·         Tidak dibatasi waktu penyerahan barang. Bila ditentukan waktu penyerahan barang, maka akadnya secara otomastis berubah menjadi akad salam, sehingga berlaku padanya seluruh hukum-hukum akad salam, demikianlah pendapat Imam Abu Hanifah.
Akan tetapi kedua muridnya yaitu Abu Yusuf, dan Muhammad bin Al Hasan menyelisihinya, mereka berdua berpendapat bahwa tidak mengapa menentukan waktu penyerahan, dan tidak menyebabkannya berubah menjadi akad salam, karena demikianlah tradisi masyarakat sejak dahulu kala dalam akad istishna'. Dengan demikian, tidak ada alasan untuk melarang penentuan waktu penyerahan barang pesanan, karena tradisi masyarakat ini tidak menyelisihi dalil atau hukum syari'at.[11]
·         Barang yang dipesan adalah barang yang telah biasa dipesan dengan akad istishna'. Persyaratan ini sebagai imbas langsung dari dasar dibolehkannya akad istishna'. Telah dijelaskan di atas bahwa akad istishna' dibolehkan berdasarkan tradisi umat Islam yang telah berlangsung sejak dahulu kala.
Dengan demikian, akad ini hanya berlaku dan dibenarkan pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema akad istishna'. Adapun selainnya, maka dikembalikan kepada hukum asal. Akan tetapi, dengan merujuk dalil-dalil dibolehkannya akad istishna', maka dengan sendirinya persyaratan ini tidak kuat. Betapa tidak, karena akad istishna' bukan hanya berdasarkan tradisi umat islam, akan tetapi juga berdasarkan dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Bila demikian adanya, maka tidak ada alasan untuk membatasi akad istishna' pada barang-barang yang oleh masyarakat biasa dipesan dengan skema istishna' saja.


HAL-HAL SEPUTAR AKAD ISTISHNA’
1.      Hakikat Akad Istishna'
Ulama mazhab Hanafi berbeda pendapat tentang hakekat akad istishna' ini. Sebagian menganggapnya sebagai akad jual-beli barang yang disertai dengan syarat pengolahan barang yang dibeli, atau gabungan dari akad salam dan jual-beli jasa (ijarah).[12]
Sebagian lainnya menganggap sebagai 2 akad, yaitu akad ijarah dan akad jual beli. Pada awal akad istishna', akadnya adalah akad ijarah (jual jasa). Setelah barang jadi dan pihak kedua selesai dari pekerjaan memproduksi barang yang di pesan, akadnya berubah menjadi akad jual beli.[13]
Nampaknya pendapat pertama lebih selaras dengan fakta akad istishna'. Karena pihak 1 yaitu pemesan dan pihak 2 yaitu produsen hanya melakukan sekali akad. Dan pada akad itu, pemesan menyatakan kesiapannya membeli barang-barang yang dimiliki oleh produsen, dengan syarat ia mengolahnya terlebih dahulu menjadi barang olahan yang diingikan oleh pemesan.
2.      Perbedaan Salam Dan Istishna’
Menurut jumhur fuqaha, jual beli istisna’ itu sama dengan salam, yakni jual beli sesuatu yang belum ada pada saat akad berlangsung (bay’ al-ma’dum). Menurut fuqaha Hanafiah, ada dua perbedaan penting antara salam dengan istisna’, yaitu :
  1. Cara pembayaran dalam salam harus di lakukan pada saat akad berlangsung, sedangkan dalam istisna’ dapat di lakukan pada saat akad berlangsung, bisa di angsur atau bisa di kemudian hari.
  2. Salam mengikat para pihak yang mengadakan akad sejak semula, sedangkan istisna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen yang tidak bertanggungjawab.[14]

Perbandingan Antara Bai’ as-Salam dan bai’ al-Istishna’ [15]
SUBJEK
SALAM
ISTISHNA
ATURAN DAN KETERANGAN
Pokok Kontrak
Muslam Fiihi
Mashnu’
Barang di tangguhkan dengan spesifikasi.
Harga
Di bayar saat kontrak
Bisa saat kontrak, bisa di angsur, bisa dikemudian hari
Cara penyelesaian pembayaran merupakan perbedaan utama antara salam dan istishna’.
Sifat Kontrak
Mengikat secara asli (thabi’i)
Mengikat secara ikutan (taba’i)
Salam mengikat semua pihak sejak semula, sedangkan istishna’ menjadi pengikat untuk melindungi produsen sehingga tidak di tinggalkan begitu saja oleh konsumen secara tidak bertanggung jawab.
Kontrak Pararel
Salam Pararel
Istishna’ Pararel
Baik salam pararel maupun istishna’ pararel sah asalkan kedua kontrak secara hukum adalah terpisah.

3.      Perbedaan Istishna’ dengan Ijarah
Tim Pengembangan Perbankan Syariah Insitut Bankir Indonesia mendefinisikan istisna’ sebagai akad antara pemesan dengan pembuat barang untuk suatu pekerjaan tertentu dalam tanggungan atau jual beli suatu barang yang baru akan di buat oleh pembuat barang. Dalam istisna’, bahan baku dan pekerjaan penggarapannya menjadi kewajiban pembuat barang. Jika bahan baku di sediakan oleh pemesan, maka akad tersebut berubah menjadi ijarah.
Perlu diingatkan disini bahwa ketika mengerjakan pesanan barang dengan akad istisna’, bahan mentah yang digunakan untuk memproduksi barang pesanan istisna’ harus berasal dari pabrik atau industri rumah tangga itu dan bukan dari si pemesan/pembeli. Jika bahan mentah tersebut diberikan dari si pemesan/pembeli, dan pabrik atau industri rumah tangga tersebut hanya menyediakan skill/keahliannya untuk memproduksi barang pesanan, maka yang terjadi adalah akad ijarah dengan dengan memberikan ujrah/upah atas kerja pabrik atau industri rumah tangga tersebut dan bukannya istisna’.
4.     Penetapan Waktu Penyerahan Istishna'
Ada tiga pendapat di dalam mazhab Hanafi yang berhubungan dengan penetapan tanggal penyerahan mashnu;
·         Imam Abu Hanifa menolak penetapan tanggal pada masa yang akan datang untuk penyerahan mashnu' Jika suatu tanggal ditetapkan, maka kontrak berubah menjadi bai' as salam karena ini merupakan ciri dari akad yang mengikat seperti bai'as salam bukan ciri bai' al istishna’ yang terbuka atas pilihan-pilihan.
·         Abu Yusuf dan Muhammad bin Al Hassan Asy Syaibani, dua murid dan sahabat Abu Hanifa menerima syarat penetapan tanggal pada masa yang akan datang Alasannya, orang-orang telah mempraktekkan istishna' dengan cara seperti itu.
·         Tetapi Abu Hanifa dan kedua sahabatnya bersepakat jika tanggal penyerahan dalam suatu akad istishna’ ditetapkan, dan tidak sesuai dengan apa yang lazimnya dipraktekkan, maka akad bai’ al istishna‘ tersebut berubah menjadi akad bai as salam.[16]

5.     Konsekuensi Akad Istishna'
Imam Abu Hanifah dan kebanyakan pengikutnya menggolongkan akad istishna' ke dalam jenis akad yang tidak mengikat. Dengan demikian, sebelum barang diserahkan keduanya berhak untuk mengundurkan diri akad istishna'; produsen berhak menjual barang hasil produksinya kepada orang lain, sebagaimana pemesan berhak untuk membatalkan pesanannya.
Sedangkan Abu Yusuf murid Abu Hanifah, memilih untuk berbeda pendapat dengan gurunya. Beliau menganggap akad istishna' sebagai salah satu akad yang mengikat. Dengan demikian, bila telah jatuh tempo penyerahan barang, dan produsen berhasil membuatkan barang sesuai dengna pesanan, maka tidak ada hak bagi pemesan untuk mengundurkan diri dari pesanannya. Sebagaimana produsen tidak berhak untukmenjual hasil produksinya kepada orang lain.[17]
Menurut kami, pendapat Abu Yusuf inilah yang lebih kuat, karena kedua belah pihak telah terikat janji dengan saudaranya. Bila demikian, maka keduanya berkewajiban untuk memenuhi perjanjiannya. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
المُسْلِمُوْنَ عَلَى شُرُوطِهِمْ. رواه أبو داود والحاكم والبيهقي وصححه الألباني
"Kaum muslimin senantiasa memenuhi persyaratan mereka." ( Hadis Riwayat Abu Dawud, Al Hakim, Al Baihaqy dan dinyatakan sebagai hadits shahih oleh Al Albany )
6.     Penghentian Kontrak Ba’i al Istishna'
Kontrak ba'i al istishna' bisa dihentikan berdasarkan kondisi- kondisi berikut ini:
1.      Dipenuhinya kewajiban secara normal oleh kedua belah pihak.
2.      Persetujuan bersama kedua belah pihak untuk menghentikan kontrak.
3.      Pembatalan hukum kontrak. Ini jika muncul sebab yang masuk akal untuk mencegah dilaksanakannya kontrak atau penyelesai- annya, dan masing-masing pihak bisa menuntut pembatalannya.

C.     ISTISHNA’ PARALEL & APLIKASINYA PADA PERBANKAN DAN LEMBAGA KEUANGAN SYARI’AH
Dalam sebuah kontrak bai’ al-istishna’, bisa saja pembeli mengizinkan pembuat menggunakan subkontrakator untuk melaksanakan kontrak tersebut. Dengan demikian, pembuat dapat membuat kontrak istishna’ kedua untuk memenuhi kewajibannya kepada kontrak pertama. Kontrak baru ini di kenal sebagai istishna’ pararel. Istishna’ pararel dapat dilakukan dengan syarat:(a) akad kedua antara bank dan subkontraktor terpisah dari akad pertama antara bank dan pembeli akhir dan (b) akad kedua di lakukan setelah akad pertama sah.
Akad istishna yang digunakan dalam bank syariah adalah istishna parallel, aplikasinya dipergunakan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi yang pembayarannya dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lama. Sehingga pembayaran dapat dilakukan sekaligus atau bertahap. Ada beberapa konsekuensi saat bank Islam menggunakan kontrak pararel. Diantaranya sebagai berikut.
  1. Bank Islam sebagai pembuat kontrak pertama tetap merupakan satu-satunya pihak yang bertanggung jawab terhadap pelaksaaan kewajibannya. Istishna’ pararel atau subkontrak untuk sementara harus di anggap tidak ada. Dengan demikian sebagai shani’ pada kontrak pertama, bank tetap bertanggung jawab atas setiap kesalahan, kelalaian atau pelanggaran kontrak yang berasal dari kontrak pararel.
  2. Penerima subkontrak pembuatan pada istishna’ pararel bertanggung jawab terhadap Bank Islam sebagai pemesan. Dia tidak mempunyai hubungan hukum secara langsung dengan nasabah pada kontrak pertama akad. Bai’ al-istishna’ kedua merupakan kontrak pararel, tetapi bukan merupakan bagian atau syarat untuk kontrak pertama. Dengan demikian kedua kontrak tersebut tidak memunyai kaitan hukum sama sekali.
  3. Bank sebagai shani’ atau pihak yang siap untuk membuat atau mengadakan barang, bertanggungjawab kepada nasabah atas pelaksanaan subkontraktor dan jaminan yang timbul darinya. Kewjiban inilah yang membenarkan keabsahan istishna’ pararel, juga menjadi dasar bahwa bank boleh memungut keuntungan kalau ada.
Dalam buku yang dikarang oleh Dr. Muhammad Tahir Mansuri yang judulnya “Islamic Law of Contracs and Bussines Transactions” mengatakan bahwa :
Islamic Banks and Financial Institutions use istisna' as a mode of financing. They finance the construction of houses factories on a piece of land belonging to client. The house or factory is constructed either by the financier himself or by a construction company. In this latter case, the bank enters a sub-contract with that construction company. But if the contract concluded between the bank, i.e, the financier, and the client provides specifically that the work will be carried out by the financier himself, then the sub-contract is not valid. In such a case, it is necessary that the bank should have its own construction company and expert contractors to discharge the task.
The financier in the contract of istifna' for the purpose of construction is under obligation to construct house in conformity with the specifications detailed in the agreement. Some agreements provide that the financier will be liable for any defect in construction and destruction of the building during the period specified in the contract.
In case the financier assigns the task of construction to a third party, it is necessary that it should supervise construction work in a regular manner, the price of construction may be paid by the client at the time of agreement and may be postponed till the time of delivery or any other time agreed upon between the parties. The payment may be in lump sum or in installments. In order to secure the payment of installments, the title deeds of the house or land may be kept by the hank as security till the last installment is paid by the client.
The mode of istifna' is used also for digging wells and water canals. Islamic banks finance the agricultural sectoF through this mode and play their effective role in activating this important sector of economy.
Artinya adalah :
Bank Islam dan Lembaga Keuangan menggunakan 'istisna sebagai model pembiayaan. Mereka membiayai pembangunan pabrik rumah di sebidang tanah milik klien. Rumah atau pabrik dibangun baik oleh pemodal sendiri atau oleh sebuah perusahaan konstruksi. Dalam kasus yang terakhir ini, bank memasuki sub-kontrakdengan perusahaan konstruksi. Tetapi jika kontrak dibuat antara bank, yaitu, pemilik modal, dan klien menyediakan secara khusus bahwa pekerjaan akan dilakukan oleh pemodal sendiri, maka sub- kontrak tidak valid. Dalam kasus seperti itu, perlu bahwa bank harus memiliki konstruksi sendiri perusahaan dan kontraktor ahli untuk melaksanakan tugas.
Pemodal dalam kontrak 'istisna bertujuan/berkewajiban untuk membangun rumah sesuai dengan spesifikasi rinci dalam perjanjian. Beberapa perjanjian tersebut mengatur bahwa pemodal akan bertanggung jawab atas setiap cacat dalam konstruksi dan penghancuran bangunan selama periode yang ditentukan dalam kontrak.
Dalam hal pemilik modal memberikan tugas konstruksi kepada pihak ketiga, perlu diingat bahwa hal itu harus mengawasi pekerjaan konstruksi secara rutin, harga konstruksi dapat dibayar oleh klien pada saat perjanjian dan dapat ditunda sampai saat selesai atau waktu lain yang disepakati kedua belah pihak. Pembayaran mungkin dalam bentuk cicilan. Dalam rangka untuk menjamin pembayaran angsuran, surat dari rumah atau tanah dapat disimpan oleh bank sebagai jaminan sampai angsuran terakhir dibayar oleh klien. Model istisna’ digunakan juga untuk menggali sumur dan air kanal. Bank syariah membiayai sector pertanian melalui model ini dan memainkan peran yang efektif dalam mengaktifkan sektor penting dari perekonomian.[18]
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia selalu berinteraksi dengan sesamanya untuk mengadakan berbagai transaksi ekonomi, salah satunya adalah jual beli yang melibatkan dua pelaku, yaitu penjual dan pembeli. Biasanya penjual adalah produsen , sedangkan pembeli adalah konsumen konsumen. Pada kenyataannya, konsumen kadang memerlukan barang yang belum di hasilkan sehingga konsumen melakukan transaksi jual beli dengan produsen dengan cara pesanan. Di dalam perbankan syariah, jual beli Istishna’ lazim di tetapkan pada bidang konstruksi dan manufaktur.
Contoh Kasus Istishna’ :
CV. Selayang Pandang yang bergerak dalam bidang pembuatan dan penjualan sepatu memperoleh order untuk memebuat sepatu anak sekolah SMU senilai RP. 60.000.000,-.dan mengajukan permodalan kepada Bank Syariah Plaju. Harga perpasang sepatu yang di ajukan adalah Rp.85.000,- dan pembayarannya di angsur selama tiga bulan. Harga perpasang sepatu di pasaran sekitar rp. 90.000,-. Dalam hal ini Bank Syariah Plaju tidak tahu berapa biaya pokok produksi. CV.Selayang Pandang hanya memberikan keuntungan Rp. 5.000,- perpasang atau keuntungan keseluruhan adalah RP. 3.529.412,-yang diperoleh dari hitungan Rp. 60.000.000/Rp. 85.000xRp. 5.000 = rp. 3.529.412.
Bank Syariah Plaju dapat menawar harga yang diajukan oleh CV. Selayang Pandang dengan harga yang lebih murah, sehingga dapat dijual kepada masyarakat dengan harga yang lebih murah pula. Katakanlah misalnya Bank Syariah Plaju menawar harga Rp. 86.000,-per pasang, sehingga masih untung Rp. 4.000,- perpasang dengan keuntungan keseluruhan adalah:
Rp. 60.000.000/Rp. 86.000xRp. 4.000 = Rp. 2.790.697[19]

BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
Istishna merupakan kontrak penjualan antara penjual dan pembeli dimana pembeli memesan barang terlebih dahulu kepada penjual dengan spesifikasi tertentu kemudian pembayaran disepakati oleh kedua belah pihak yaitu dimuka, dengan cara cicilan atau ditangguhkan. istishna parallel adalah istishna yang merupakan gabungan dari dua transaksi Istishna’ yang dilakukan secara simultan. Bank syariah memakai skema ini dalam pembiayaannya. Semisal nasabah memesan sebuah produk barang kepada bank syariah dengan harga yang telah disepakati kemudian bank syariah akan memesan barang kepada supplier yang sesuai dengan spesifikasi nasabah dengan harga yang telah disepakati oleh kedua belah pihal (bank dan supplier) dengan harga waktu pembayaran yang telah disepakati bersama.
Landasan hukum akad Istishna adalah QS. Al Baqarah (2) : 282.berdasarkan ayat ini para ulama menyatakan bahwa setiap perniagaan adalah halal kecuali yang benar – benar dinyatakan haram. Namun terdapat beberapa perbedaan pendapat ulama mengenai istishna, yaitu ada yang mengatakan haram (Mazhab Hambali). Pendapat kedua menyatakan akad ini boleh dijalankan asalan memenuhi persyaratan dari akad salam (Mazhab Maliki dan Syafi’i). Pendapat ketiga menyatakan istishna merupakan akad yang halal (Mazhab Hanafi dan ulama fiqh jaman sekarang).
Rukun istishna terdiri dari produsen / penjual, pemesan / pembeli, barang / jasa yang dipesan, harga barang / jasa (Tsaman), sighot (Ijab-Qabul). Sedangkan syarat istishna adalah para pelaku istishna harus cakap hokum, tidak melangar janji. Barang yang dipesan harus jelas dan waktu serta pembayaran barang yang dipesan harus disepakati bersama.
Akad istishna yang digunakan dalam bank syariah adalah istishna parallel, aplikasinya dipergunakan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi yang pembayarannya dapat dilakukan dalam waktu yang relatif lama. Sehingga pembayaran dapat dilakukan sekaligus atau bertahap.
DAFTAR PUSTAKA

Al Kasaani, Badai'i As shanaai'i Jilid 5.
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syariah wacana Ulama dan Cendekiawan,  Jakarta : Tazkia Institute. 1999.
An-Nawawi, Raudhatuthalibin Jilid 4
Al-Muhadzdzab jilid 1
 As Sarakhsi,   Al Mabsuth Jilid 12
http://etd.eprints.ums.ac.id/954/1/I000050027.pdf (diakses tanggal 01 April 2013, jam 13.00 WIB)
Ibnul Humaam, Fathul Qadir Jilid 7
Karim, Ir. Adiwarman A., Islamic Banking: Fiqh and Financial Analysis 3rd Edition. Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada. 2008

Karim, Ir. Adiwarman A., Bank Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2008.

Mansuri, Dr. Muhammad Tahir, Islamic law of contracts and Bussines Transactions, New Delhi : Adam Publishers & Distributors, 2006
Kasysyaf Al-Qinna' jilid 3

Perwataatmaja, Drs. H. Karnaen, dkk, Apa dan Bagaimana Bank Islam?, Jakarta : Dana Bakti Wakaf, 1992
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani
Zuhaily, Wahbah, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu juz IV , Damaskus: Dar el-Fikr, 1989.

Zulkifli, Panduan Praktis Transaksi Perbankan Syariah, Jakarta : Zikrul Hakim, 2003







[1] Lihat Lisanul Arab pada madah (صنع)
[2] Al Kasaani, Badai'i As shanaai'i  Jilid 5, hal 2
[3] Kasysyaf , Al-Qinna' jilid 3, hal 132
[4] An-Nawawi, Raudhatuthalibin Jilid 4,  hal 26

[5] Wahbah Zuhaily, al Fiqh al Islamy wa Adillatuhu juz IV (Damaskus: Dar el-Fikr, 1989), hal.631-633
[6] Ibnul Humaam , Fathul Qadir Jilid 7,  hal 115
[7] As Sarakhsi, Al Mabsuth Jilid 12, hal 138; Fathul Qadir oleh Ibnul Humaam jilid 7 halaman 115
[8] Al Kasaani , Badai'i As-Shanaai'i Jilid 5, hal  3
[9]As Sarakhsi, Al-Mabsuth Jilid 12,  hal 159
[10] Ibnul Humaam, Fathul Qadir Jilid 5, hal 355

[11] As-Syarakhsi, Al Mabsuth Jilid 12, hal 140
[12] Al Kasaani, Badai'i As-Shanaai'i Jilid 5, hal 3
[13] Ibnul Humam, Fathul Qadir  Jilid 7, hal 116
[14] Ir. Adiwarman A. Karim, Islamic Banking: Fiqh and Financial Analysis 3rd Edition.(Jakarta : 2008) hal 124-134

[15] Muhammad Syafi’i Antonio.Bank Syariah, Dari Teori ke Praktek.( Jakarta: Gema Insani,2001) hal 151-152
[16] Ibid, hal 147
[17] Al Bahru Ar Raa'iq oleh Ibnu Nujaim 6//186)

[18] Dr. Muhammad Tahir Mansuri, Islamic Law of Contracs and Bussines Transactions, ( New Delhi, 2006 ) hal 65-73
[19] Adrian Sutedi, Perbankan Syariah  Tinjauan dan Beberapa Segi Hukum. (Bogor: 2006) hal 77

Tidak ada komentar:

Posting Komentar