Rabu, 26 Juni 2013

IHYA AL-MAWAT

IHYA AL-MAWAT

A. Latar Belakang
            Ihya’ al-mawat adalah membuka lahan tanah mati dan belum pernah ditanami sehingga tanah tersebut dapat memberikan manfaat untuk tempat tinggal, bercocok tanam dan sebagainya.
Islam menyukai manusia berkembang dengan membangun berbagai perumahan dan menyebar di berbagai pelosok dunia, menghidupkan (membuka) tanah-tanah tandus. Hal itu dapat menambah kekayaan dan memenuhi kebutuhan hidup, sehingga tercapailah kemakmuran dan kekuatan mereka.
Bertolak dari hal tersebut, Islam menganjurkan pada penganutnya untuk menggarap tanah yang gersang agar menjadi subur, sehingga menghasilkan kebaikan dan keberkahan dengan mengelola tanah tersebut.

B. Rumusan Masalah
A.    Apakah pengertian ihya’ al-mawat?
B.     Apa dasar hukum ihya’ al-mawat?
C.     Bagaimana cara-cara ihya’ al-mawat?
D.    Apa-apa saja objek yang berkaitan dengan ihya’ al-mawat?
E.     Bagaimana hukum-hukum dalam ihya’ al-mawat?
F.      Bagaimana syarat-syarat ihya’ al-mawat?
G.    Bagaimana izin penguasa dalam ihya’ al-mawat?
H.    Bagaimana ihya’ al-mawat dalam masalah pertanian?

C. Tujuan Penulisan
            Memahami pengertian, dasar hukum, cara-cara, objek yang berkaitan dengan ihya’ al-mawat, mengetahui hukum-hukum yang ada dalam ihya’ al-mawat dan apa-apa saja syarat ihya’ al-mawat, mengetahui bagaimana izin penguasa dalam ihya’ al-mawat, dan bagaimana ihya’ al-mawat dalam memecahkan masalah pertanian khususnya yang berkaitan dengan lahan.


BAB II
PEMBAHASAN
IHYA’ AL-MAWAT MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Ihya’ Al-Mawat
Kata ihya’ al-mawat terdiri dari dua kata, bila diterjemahkan secara literer ihya’ berarti menghidupkan dan mawat berasal dari maut berarti mati atau wafat. Ihya’ al-mawat menurut bahasa diartikan menghidupkan sesuatu yang mati. "Bringing to Life" means putting a piece of land to use by an individual and acquiring proprietary rights over it[1]. Dengan kata lain, menghidupkan tanah mati adalah memanfaatkannya dengan cara apa pun, yang bisa menjadikan tanah tersebut hidup[2] yakni dengan adanya usaha seseorang untuk menghidupkan tanah, berarti usaha orang tadi telah menjadikan tanah tersebut miliknya.
The Majelle mendefinisikan al-mawat sebagai "Those lands which are not mulk property of anyone... the localities (of which)... are far from the distant parts of the village or town, that the sound of a person who has a loud voice cannot be heard from the houses which are in the extreme limit of the town or village.”[3]
Secara terminologi, ada beberapa pengertian yang dikemukakan para ulama’ fiqh tentang ihya’  al-mawat :
1.    Menurut Ulama’ Hanafiyah adalah
اصلاح الارض لايملكها ولاينفع بها احد وتعذر زرعها لانقطاع الماء عنها من العامر
Artinya:  Penggarapan lahan yang belun dimiliki  dan digarap orang lain karena ketiadaan irigasi serta  jauh dari pemukiman.
2.  Menurut ulama’ Malikiyah adalah:
ما سلم عن اختصاص باحياء (اى بسبب احياء ه بشيئ) او بسبب كونه حريم عمارة كمحتطب او مرعى لبلد
Artinya: Tanah atau lahan yang selamat dari pengelolahan (sebab mengelola  lahan itu dengan sesuatu), atau sebab adanya penghalang untuk mengelola lahan tersebut.


3.    Menurut ulama’ Syafi’iyah adalah:
اصلاح الارض ما لم يكون عامرا ولا حريما لعامر قريب من العامراو بعد       
Artinya: Penggarapan tanah atau lahan yang belum digarap orang lain, dan lahan itu jauh dari  pemukiman maupun dekat.
4.    Menurut ulama’ Hanabilah adalah:
الارض التى ليس لها مالك ولابها ماء ولا عمارة ولا ينفع بها
Aritnya: Lahan atau tanah yang tidak ada pemiliknya, tidak ada airnya (gersang), tidak dikelola, serta tidak dimanfaatkan oleh orang lain.
Dalam kitab Fiqh Sunnah  karya Sayid Sabiq tertulis: [4]
احياء الموات معناه إعداد الأرض الميتة التى لم يسبق تعميرها و ﺗﻬﯿﺌﺎ و جعلها صالحة للإنتفاع بها فى السكنى و الزرع و نحو ذلك.  
Dari pengertian di atas jika diperluas maknanya menunjukkan bahwa ihya’ al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun mendirikan bangunan. Pengertian tersebut mengisyaratkan bahwa yang menjadikan sebab seseorang bisa memiliki sebidang tanah, manakala tanah itu kosong, belum diolah dan belum dimiliki seseorang.
Al-quran tidak memberikan penjelasan tentang ihya’ al-mawat secara jelas dan rinci. Al-quran hanya mengungkapkan secara umum tentang keharusan bertebaran di atas bumi untuk mencari karunia Allah.
#sŒÎ*sù ÏMuŠÅÒè% äo4qn=¢Á9$# (#rãÏ±tFR$$sù Îû ÇÚöF{$# (#qäótGö/$#ur `ÏB È@ôÒsù «!$# (#rãä.øŒ$#ur ©!$# #ZŽÏWx. ö/ä3¯=yè©9 tbqßsÎ=øÿè? [5] 
Artinya: Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi, dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
Ayat ini menganjurkan setiap muslim untuk bertebaran di atas bumi Allah mencari nafkah setelah mereka menunaikan shalat. Ungkapan bertebaran di atas bumi adalah berusaha sesuai dengan keahlian dan profesi masing-masing. Untuk pertanian maka petani maka  bercocok tanam di lahannya. Dalam hal ini menghidupkan lahan yang kosong sangat dianjurkan dalam Islam karena menghidupkan lahan-lahan tidur akan berdampak produktifitas masyarakat semakin meningkat. Secara isyarah al-nas, ayat ini menganjurkan untuk menghidupkan lahan kosong.
B. Dasar Hukum Ihya’ Al-Mawat
Adapun landasan hukum menghidupkan lahan kosong atau ihya’ al-mawat yaitu mustahab, yang didasarkan pada hadis Nabi SAW. yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Dalam kitab Kifayatul Akhyar hukum menghidupkan lahan kosong adalah jaiz (boleh) dengan syarat orang yang menghidupkan lahan tersebut adalah Muslim dan tanah yang dihidupkan bukan lahan yang sudah dimiliki orang lain[6].
Hadits yang berkenaan dengan ihya’ al-mawat adalah
عن عائشة رضي الله عنها, ان النبي صلى الله عليه وسلم قال : من أعمر أرضا ليست لأ حد فهو احق. قال عروة : قضى به عمر رضي الله عنه فى خلا فته (رواه البخارى)[7]                                           
Artinya :  Dari Aisyah r.a : Nabi SAW. pernah bersabda, “ orang yang mengolah lahan yang tidak dimiliki siapa pun lebih berhak untuk memilikinya. “Urwah berkata”, Umar r.a memberi keputusan demikian pada masa kekhalifahannya (H.R Bukhari)
عن جابر رضى الله, ان النبي صلى الله عليه وسلم, قال من أحياأرضا ميتة فهي له (رواه أحمد والترمذى)[8]
Artinya:   Dari Jabir r.a, bahwasanya Nabi SAW. bersabda : Barang siapa yang mengolah lahan tanah mati maka tanah tersebut beralih menjadi miliknya (H.R. Ahmad dan At-Turmudzy)
Wahbah menjelaskan bahwa hadits di atas menunjukkan kebolehan menghidupkan tanah mati yang tidak ada pemiliknya, dan tidak sedang dimanfaatkan orang lain. Dengan demikian siapapun boleh menghidupkannya dengan menyiram, mengolah, dan menanamnya, atau mendirikan bangunan di atasnya, atau membuat pagar di sekitar tanah tersebut. Hadits ini juga menjelaskan bahwa syara’ mendorong untuk menghidupkan lahan tidur karena manusia sangat membutuhkannya. Hal tersebut untuk pertanian, perindustrian, dan lapangan perekonomian lainnya[9].
            Dalam hadits tidak dijelaskan ciri-ciri tanah yang sudah dimiliki orang lain, hal-hal apa saja yang menunjukkan bahwa lahan itu lahan tidur yang boleh untuk dihidupkan, dan lain sebagainya. Hadis-hadis itu juga memotivasi umat Islam untuk menjadikan lahan kosong menjadikan lahan produktif, sehingga karunia yang diturunkan Allah SWT. dapat dimanfaatkan semaksimum mungkin untuk kepentingan dan kemaslahatan umat manusia[10].
Dalam hal ini tidak ada bedanya seorang Muslim dengan kafir dzimmi (kafir yang tunduk kepada pemerintahan Islam) karena hadits-hadits tersebut bersifat mutlak. Lagi pula, harta yang telah diambil oleh kafir dzimmi menjadi miliknya dan tidak bisa dicabut darinya. Ketentuan ini berlaku umum. Hanya saja, kepemilikan atas tanah tersebut memiliki syarat, yakni harus dikelola selama tiga tahun sejak tanah tersebut dibuka dan terus-menerus dihidupkan dengan cara digarap/dimanfaatkan. Abu Yusuf dalam al-Kharaj menuturkan riwayat dari Said bin al-Musayyab. Disebutkan bahwa Khalifah Umar bin al-Khaththab pernah berkata:
   و ليس لمحتجر حق بعد ثلاث سنين”Orang yang memagari tanah (lalu membiarkan begitu saja tanahnya) tidak memiliki hak atas tanah itu setelah tiga tahun.”[11]

C. Cara-cara Ihya’ Al-Mawat
Menurut Hafidz Abdullah dalam bukunya bahwa cara-cara menghidupkan tanah mati atau dapat juga disebut dengan memfungsikan tanah yang disia-siakan bermacam-macam. Perbedaan cara-cara ini dipengaruhi oleh adat dan kebiasaan masyarakat. Adapun cara ihya’ al-mawat adalah sebagai berikut[12]:
a) Menyuburkan, cara ini digunakan untuk daerah yang gersang yakni daerah di mana tanaman tidak dapat tumbuh, maka tanah tersebut diberi pupuk, baik pupuk dari pabrik maupun pupuk kandang sehingga tanah itu dapat ditanami dan dapat mendatangkan hasil sesuai dengan yang diharapkan;
b) Menanam, cara ini dilakukan untuk didaerah-daerah yang subur, tetapi belum dijamah oleh tangan-tangan manusia, maka sebagai tanda tanah itu telah ada yang menguasai atau telah ada yang memiliki, maka ia ditanami dengan tanaman-tanaman, baik tanaman untuk makanan pokok mungkin juga ditanami pohon-pohon tertentu secara khusus, seperti pohon jati, karet, kelapa dan pohon-pohon lainnya.
c) Menggarisi atau membuat pagar, hal ini dilakukan untuk tanah kosong yang luas, sehingga tidak mungkin untuk dikuasai seluruhnya oleh orang yang menyuburkannya, maka dia harus membuat pagar atau garis batas tanah yang akan dikuasai olehnya.
d) Menggali parit, yaitu membuat parit di sekeliling kebun yang dikuasainya, dengan maksud supaya orang mengetahui bahwa tanah tersebut sudah ada yang mengusai dengan demikian menutup jalan bagi orang lain untuk menguasainya.

D. Obyek Yang Berkaitan Dengan Ihya’ Al-Mawat
Adapun obyek yang berkaitan dengan ihya al-mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati, bukan tanah yang lain. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam. "Nothing is lawful to any person but what is permitted by the Imam.”[13] Itulah yang kemudian disebut dengan sebutan tanah-tanah milik negara. Hal itu ditunjukkan oleh kasus Bilal Al-Muzni yang meminta sebidang tanah dengan cuma-cuma kepada Rasulullah SAW, di mana dia tidak bisa memilikinya hingga tanah tersebut diberikan oleh beliau kepadanya. Kalau seandainya dia bisa memiliki dengan cara menghidupkan dan memagarinya, karena dia telah memagarinya dengan suatu tanda yang bisa menunjukkan pemilikannya atas tanah tersebut, tentu tanah tersebut bisa dia miliki tanpa harus meminta Rasul SAW. agar memberikannya[14].
Tidak semua lahan kosong yang boleh dijadikan obyek ihya’ al-mawat. Menurut Ibn Qudamah, lahan yang akan dihidupkan itu ada dua jenis : pertama, lahan yang belum ada pemiliknya maka lahan seperti ini menjadi hak milik bagi orang yang menghidupkannya dan tidak memerlukan izin dari imam. Kedua, tanah yang ada pemiliknya tetapi tidak diketahui pemiliknya secara jelas mungkin sudah wafat dan lain sebagainya[15].

E. Hukum-hukum Ihya’ Al-Mawat
Menurut Syekh Muhammad Ibn Qasyim al-Ghazzi, ihya’ al-mawat (menghidupkan bumi mati) hukumnya boleh dengan adanya dua syarat yaitu:[16]
1.    Bahwa yang menghidupkan itu orang Islam, maka disunnahkan baginya menghidupkan bumi mati, meskipun Imam (pemuka) mengizinkan atau tidak.
2.    Bumi yang mati itu jelas (bebas) belum ada seorang Islam pun yang memilikinya dan menurut keterangan, bahwa bumi mati itu dalam status jelas merdeka.
            Hafidz Abdullah dalam bukunya kunci fiqih Syafi’i berpendapat barang siapa boleh memiliki harta benda, maka boleh pula untuk memiliki tanah kosong (mawat) dengan menghidupkannya. Tetapi orang kafir tidak boleh memiliki tanah kosong dengan jalan menghidupkannya di negara Islam, dan boleh memilikinya di negara musyrik. Semua tanah kosong yang tidak tampak padanya bekas-bekas pemilikan dan tidak tergantung dengan kemaslahatan umum, maka boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Dan tanah kosong yang tampak padanya bekas-bekas pemilikan, tetapi tidak diketahui siapa pemiliknya, jika ia berada di negeri Islam maka tidak boleh dimiliki dengan menghidupkannya. Sedangkan kalau ia berada di negeri kafir, ada pendapat yang mengatakan boleh dan ada pula yang mengatakan tidak boleh[17].
Para ulama Fiqh menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi syarat-syaratnya, maka akibat hukumnya adalah[18]:
a.         Pemilikan lahan itu.
            Mayoritas ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa jika seseorang telah menggarap sebidang lahan kosong, maka ia berhak atas lahan itu sebagai pemilik lahan, Akan tetapi, Abu al-Qasim al-Balkhi pakar Fiqh Hanafi menyatakan bahwa status orang yang menggarap sebidang lahan hanyalah status hak guna tanah, bukan hak milik. Ia menganalogikannya dengan seseorang yang duduk di atas tempat yang dibolehkan, maka ia hanya berhak memanfaatkannya bukan memiliknya.
b.        Hubungan pemerintah dengan lahan itu.
            Menurut ulama Hanabilah, Syafi’iyah, dan Malikiyah pemerintah tidak boleh mengambil pajak dari hasil lahan itu, jika yang menggarapnya seorang muslim. Tetapi, apabila penggarap itu seorang kafir dzimmi, pemerintah boleh mengambil pajaknya sebesar 10%. Menurut Abu Yusuf, apabila yang menggarap lahan itu seorang muslim, maka pemerintah dapat memungut pajak sebesar 10% dari hasil lahan garapan itu.
c.         Seorang telah menggarap sebidang lahan
            Apabila seseorang telah menggarap lahan maka ia berhak memanfaatkan lahan itu untuk menunjang lahan, seperti memanfaatkan lahan itu untuk disebelahnya untuk keperluan irigasi. Akan tetapi, para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa sebelum ia menggarap lahan itu hak memanfaatkan lahan sekelilingnya belum boleh.
           
F. Syarat-syarat Ihya’ Al-Mawat
            Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup tiga hal, yaitu[19] : orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan.
a.    Syarat yang terkait dengan orang yang menggarap
Menurut Ulama’ Syafi’iyah, haruslah seorang Muslim, karena kaum dzimmi tidak berhak menggarap lahan umat islam sekalipun diizinkan oleh pihak penguasa, jika kaum dzimmi atau orang kafir menggarap lahan orang Islam itu berarti penguasaan terhadap hak milik orang Islam, sedangkan kaum dzimmi atau orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam, oleh sebab itu, jika orang kafir menggarap lahan kosong, lalu datang seorang muslim merampasnya, maka orang muslim boleh menggarap lahan itu dan menjadi miliknya. Ulama’ Syafi’iyah berpendapat bahwa orang kafir tidak boleh memiliki lahan yang ada di negara Islam.
Menurut Ulama’ Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah menyatakan bahwa orang yang akan menggarap lahan itu tidak disyaratkan seorang muslim. Mereka menyatakan tidak ada bedanya antara orang muslim dan non-muslim dalam menggarap sebidang lahan yang kosong. Kemudian mereka (jumhur ulama) juga menyatakan bahwa ihya’ al-mawat merupakan salah satu pemilikan lahan, oleh sebab itu tidak perlu dibedakan antara muslim dan non-muslim.
b.    Syarat yang terkait dengan lahan yang akan digarap
            Menurut Ulama’ Syafi’iyah lahan itu harus berada di wilayah islam, akan tetapi jumhur ulama’ berpendapat bahwa tidak ada bedanya antara lahan yang ada di negara islam maupun bukan,  bukan lahan yang dimilki seseorang, baik muslim maupun dzimmi, bukan lahan yang dijadikan sarana penunjang bagi suatu perkampungan, seperti lapangan olah raga dan lapangan untuk mengembala ternak warga perkampungan, baik lahan itu dekat maupun jauh dari perkampungan.
c.    Syarat yang terkait dengan penggarapan lahan   
Menurut Imam Abu Hanifah, harus mendapat izin dari pemrintah, apabila pemerintah tidak mengizinkannya, maka seseorang tidak boleh langsung menggarap lahan itu, menurut ulama Malikiyah, jika lahan itu dekat dengan pemukiman, maka menggarapnya harus mandapat izin dari pemerintah, dan jika lahan itu jauh dari pemukiman tidak perlu izin dari pemerintah, menurut ulama Syafi’iyah, Hanabilah, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibani keduanya pakar fiqh Hanafi, menyatakan bahwa seluruh lahan yang menjadi objek ihya’ al-mawat jika digarap oleh seseorang tidak perlu mendapt izin dari pemerintah, karena harta seperti itu adalah harta  yang boleh dimilki setiap orang, dan hadis-hadis Rasulullah SAW, tidak ada yang mengatakan perlu izin dari pihak pemerintah, akan tetapi, mereka sangat tetap menganjurkan mendapatkan izin dari pemerintah, untuk menghindari sengketa dikemudian hari.

G. Izin Penguasa Dalam Ihya’ al-Mawat
Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut[20]. Imam Abu Hanifah berpendapat, pembukaan tanah merupakan sebab pemilikan (tanah), akan tetapi disyaratkan juga mendapat izin dari penguasa dalam bentuk ketetapan sesuai aturan. Namun, muridnya Abu Yusuf menganjurkan bahwa, izin dari penguasa itu tidaklah penting. Abu Yusuf menjustifikasi pendapat gurunya untuk mencegah konflik antara dua pihak yang saling mengklaim. Dalam kondisi normal, di mana tidak ada kekhawatiran semacam itu, seseorang dapat memperoleh tanah yang telah dikembangkannya tanpa izin dari pihak penguasa. Karena motif di balik pemberian kepemilikan atas tanah mati adalah mengembangkan tanah kosong agar dapat ditanami, para fuqaha menjelaskan bahwa siapa saja yang menduduki sebidang tanah mati tanpa menanaminya, ia harus meninggalkan tanah tersebut. Sedangkan imam Malik membedakan antara tanah yang berdekatan dengan area perkampungan dan tanah yang jauh darinya. Apabila tanah tersebut berdekatan, maka diharuskan mendapat izin penguasa. Namun. Apabila, jauh dari perkampungan maka tidak disyaratkan izin penguasa. Tanah tersebut otomatis menjadi milik orang yang pertama membukanya.
Pada masa Rasulullah keizinan itu langsung didapatkan berdasarkan anjurannya siapa  yang membuka lahan kosong maka lahan itu menjadi miliknya. Rasulullah telah memubahkan kepada individu untuk memiliki tanah mati dengan cara menghidupkan dan memagarinya, sehingga hal itu merupakan sesuatu yang mubah. Oleh karena itu, untuk menghidupkan dan memagarinya tidak perlu izin dari imam (penguasa). Ajaran tersebut sudah menunjukkan adanya keizinan dari Rasulullah yang saat itu merupakan imam/pemimpin kaum muslimin.
Pada prinsipnya, kepemilikan asli tanah mati tetap menjadi milik negara, namun, bagi individu kepemilikannya terkait dengan pemakmurannya. Telah menjadi ketentuan umum para fuqaha bahwa seseorang yang menghidupkan tanah mati, dialah pemiliknya. Yahya meriwayatkan bahwa Nabi SAW. bersabda: “Hak kepemilikan pertama atas tanah adalah hak Allah dan Nabi, kemudian hakmu. Akan tetapi, orang yang memakmurkan setiap tanah mati memperoleh hak untuk memilikinya.”[21]. Ini menunjukkan bahwa tanah mati merupakan perhatian utama kebijakan keuangan Islam awal. Implikasinya adalah menjadikan tanah kosong cocok untuk ditanami yang membuat kepemilikan individu atas tanah tersebut. Abu Yusuf juga berpandangan, orang yang memakmurkan tanah mati, ia memperoleh hak kepemilikan atasnya dan dapat terus menanami atau membiarkannya untuk ditanami, menggali saluran di dalamnya atau  membangunnya untuk kepentingannya[22].
Dari uraian di atas jelaslah, bahwa sasaran utama pemberian izin kepada individu untuk memiliki tanah mati adalah untuk mendorong menanami dan membangun tanah mati. Pemanfaatan tanah yang tidak digunakan secara alamiah menguntungkan kas negara dari segi keuangan dengan menciptakan lebih banyak pendapatan melalui pajak tanah.
Di Indonesia kewenangan untuk membuka lahan tidur diberikan kepada setiap individu atau badan hukum selama pembukaan lahan tersebut mendapatkan izin dari penguasa setempat baik dari camat, bupati, atau gubernur ditingkat propinsi. Untuk tanah yang berukuran luas, maka harus mendapatkan izin langsung dari Badan pertanahan Nasional. Untuk lahan yang dibutuhkan masyarakat banyak dan kebutuhan masyarakat sangat tergantung pada lahan tersebut, maka dalam hukum Islam lahan seperti ini tidak boleh dihidupkan untuk dimiliki.
Hal yang sama juga dijumpai dalam UUPA yang menjelaskan bahwa tanah yang berfungsi sosial tidak  dapat dimiliki oleh siapa pun selama tanah itu masih difungsikan untuk kebutuhan sosial atau keagamaaan. Hukum Islam tidak mengenal kepemilikan tanah secara kolektif seperti yang terdapat dalam masyarakat adat yang disebut dengan hak ulayat[23]. Kepemilikan tanah dalam Islam lebih cenderung bersifat individual. UUPA sebenarnya lebih cenderung mengarahkan kepemilikan tanah yang bersifat kolektif tersebut semakin dikurangi, oleh karena itulah pemerintah menganjurkan pemerintah lokal untuk tidak menghidup-hidupkan kembali kepemilikan tanah bersifat kolektif tersebut (tanah ulayat).
Untuk pembukaan lahan baru yang belum pernah dimiliki seseorang atau badan hukum, maka kewenangan untuk membuka lahan baru tersebut tidak bisa dilakukan begitu saja akan tetapi harus mendapatkan izin dari pemerintah setempat yaitu kepada Gubernur untuk tingkat propinsi, Wali Kotamadya/Bupati untuk tingkat Kotamadya/Kabupaten, dan Camat Kepala Wilayah untuk tingkat kecamatan[24].

H. Ihya’ Al-Mawat Dalam Masalah Pertanian
Dalam masalah produksi, termasuk di bidang pertanian, Islam tidak menyinggung masalah bagaimana tatacara memproduksi kekayaan dan faktor produksi yang bisa menghasilkan kekayaan. Telah diriwayatkan, bahwa Nabi SAW. pernah bersabda adalah masalah penyerbukan kurma, “Kalianlah yang lebih tahu tentang (urusan) dunia kalian.” Juga terdapat riwayat, bahwa Nabi SAW. pernah mengutus dua orang Muslim untuk berangkat ke pandai besi Yaman demi  mempelajari industri persenjataan.  Semua ini menunjukkan, bahwa syariah telah menyerahkan masalah memproduksi harta kekayaan tersebut kepada manusia, agar mereka memproduksinya sesuai dengan keahlian dan pengetahuan mereka.
Demikian pula dalam bidang pertanian. Pilihan tatacara pengadaan dan peningkatan produksi pertanian merupakan hal yang mubah untuk ditempuh. Hanya saja,  pilihan cara peningkatan produksi itu harus dijaga dari unsur dominasi dan dikte asing, serta pilihan yang mempertimbangkan kelestarian lingkungan ke depan.  Untuk itu peningkatan produksi dalam pertanian biasanya menempuh dua jalan,  intensifikasi dan  ekstensifikasi, sebagaimana telah diujelaskan sebelumnya.
Intensifikasi pertanian dicapai dengan meningkatkan produktivitas lahan yang sudah tersedia. Negara dapat mengupayakan intensifikasi dengan pencarian dan penyebarluasan teknologi budidaya terbaru di kalangan para petani; membantu petani dalam hal pengadaan mesin-mesin pertanian, benih unggul, pupuk serta sarana produksi pertanian lainnya.  Sekali lagi,  pilihan atas teknologi serta sarana produksi pertanian yang digunakan berdasarkan iptek yang dikuasai, bukan atas kepentingan industri pertanian asing. Dengan begitu intervensi dalam pengelolaan pertanian negara oleh pihak asing dapat dihindarkan.
Adapun ekstensifikasi pertanian dicapai dengan[25]: Pertama, mendorong pembukaan lahan-lahan baru serta menghidupkan tanah mati.  Lahan baru dapat berasal dari lahan hutan, lahan lebak, lahan pasang surut dan sebagainya, sesuai dengan pengaturan negara. Tanah mati adalah tanah yang tidak tampak dimiliki oleh seseorang serta  tidak tampak ada bekas-bekas apa pun, seperti pagar, tanaman, pengelolaan ataupun yang lain. Menghidupkan tanah mati (ihya’ al-mawat) artinya mengelola tanah atau menjadikan tanah tersebut siap untuk langsung ditanami. Setiap tanah mati, jika telah telah dihidupkan oleh seseorang, menjadi milik yang bersangkutan. Syariah telah menjadikan tanah tersebut sebagai milik orang yang menghidupkannya.
Kedua, setiap orang yang memiliki tanah diperintahkan untuk mengelola tanahnya secara optimal. Siapa saja yang membutuhkan (biaya perawatan) akan diberi modal dari Baitul Mal sehingga orang yang bersangkutan bisa mengelola tanahnya secara optimal.  Namun, apabila orang yang bersangkutan mengabaikan tanahnya selama tiga tahun, maka tanah tersebut akan diambil dan diberikan kepada yang lain. 
Kebijakan Islam dalam distribusi lahan pertanian tentu amat erat kaitannya dengan tanah. Tanah merupakan faktor produksi paling penting yang menjadi bahan kajian paling serius para ahli ekonomi, karena sifatnya yang khusus yang tidak dimiliki oleh faktor produksi lainnya. Sifat itu antara lain tanah dapat  memenuhi kebutuhan pokok dan permanen manusia, tanah kuantitasnya terbatas dan tanah bersifat tetap.  Sifat lainnya adalah tanah bukan produk tenaga kerja. Segala sesuatu yang lain adalah produk tenaga kerja kecuali tanah. Di dalam masyarakat, permasalahan tanah juga telah menjadi penyebab pertentangan, pertikaian dan pertumpahan darah. Tanah juga memberikan andil besar dalam perubahan struktur dan sistem masyarakat. Sistem ekonomi Kapitalisme maupun Sosialisme dalam hal ini sedikit banyak dipicu karena kecemburuan sosial terhadap orang-orang yang memiliki tanah karena hak-hak istimewa dan menjadikannya sebagai alat eksploitasi masyarakat.
Dari sudut sejarah, status kepemilikan tanah terus berkembang mengikuti kompleksitas masyarakat. Pada masa kehidupan berburu dan meramu, kepemilikan atas tanah bukanlah termasuk raison d’etre oleh masyarakat saat itu. Ketika masyarakat mulai memasuki tahap awal dunia pertanian, kepemilikan atas tanah mulai melembaga. Namun, tipe perladangan berpindah yang diterapkan masyarakat primitif waktu itu belum menimbulkan masalah dalam kepemilikan tanah. Kepemilikan tanah saat itu dianggap sebagai kepemilkan sementara karena mereka meninggalkan tanahnya setelah selesai dipergunakan. Baru pada tahap pertanian menetap dan populasi masyarakat semakin bertambah, masyarakat mulai mencintai tanah dan berusaha menguasai tanah secara permanen. Pada periode ini, meski masih dianggap sebagai milik masyarakat, tanah dibagi sama rata pada kepala keluarga dan berlaku untuk jangka waktu tertentu. Lalu datanglah suatu masa ketika pembagian secara periodik tidak dipakai lagi. Mereka yang telah mengolah tanahnya tidak mau tunduk lagi pada tujuan komunitas. Mereka mempertahankan tanah garapannya dan memunculkan lembaga kepemilikan keluarga. Sistem ini terus berkembang menjadi kepemilikan bebas. Tidak hanya bebas untuk memiliki, namun juga bebas untuk memindahtangankan kepemilikan kepada pihak lain.
Pemilikan tanah dianggap suatu tipe kepemilikan yang par excellence (paling istimewa) di negara-negara kapitalis. Tanah boleh dimiliki oleh individu seluas-luasnya, bahkan menyewakannya kepada masyarakat dengan harga sewa dan harga jual yang dilakukan sewenang-wenang. Akibatnya cukup serius, harga bahan pokok naik dan inflasi terjadi. Bagi negara, tanah menjadi lahan subur bagi perolehan pajak. Konsekuensinya, dalam sistem kapitalis, penyewaan tanah akan memberikan nilai tambah dan karena itu dapat dikenakan pajak tinggi. Namun, pemilikan atas secara individual justru tidak diakui dalam masyarakat sosialis. Para petani dan kaum buruh dilarang mengambil nilai tambah dari hasil kerjanya. Status mereka pun semata-mata sebagai buruh tani. Sistem ini secara faktual menimbulkan ketimpangan ekonomi dan menjadikan negara-negara sosialis gagal mencapai swasembada pangan pada pertengahan abad kedua puluh. Mereka masih bergantung pada negara lain untuk memenuhi kebutuhan pangannya.
Hingga kini persoalan kepemilikan dan penguasaan tanah masih menjadi agenda utama perekonomian. Persoalan tentang kepemilikan tanah masih tetap belum terjawab oleh ekonomi kapitalis dan sosialis. Namun, persoalan ini telah lama mampu dijawab oleh sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam memandang kepemilikan tanah harus diatur sebaik-baiknya karena mempengaruhi rangsangan produksi. Islam secara tegas menolak sistem pembagian penguasaan tanah secara merata di antara seluruh masyarakat sebagaimana yang menjadi agenda land reform. Namun demikian, Islam juga tidak mengizinkan terjadinya penguasaan tanah secara berlebihan di luar kemampuan untuk mengelolanya. Sistem ekonomi Islam mengakui tanah termasuk dalam kategori kepemilikan individu apabila tidak ada unsur-unsur yang menghalanginya, seperti terdapat kandungan bahan tambang atau dikuasai oleh negara. Ketika kepemilikan ini dianggap absah secara syariah, maka pemilik tanah memiliki hak untuk mengelola tanahnya maupun memindahtangankan tanahnya melalui pewarisan, jual-beli, hibah, wakaf, ihya’ al-mawat, tahjir, dan iqtha’.
Salah satu masalah dalam pertanian di Indonesia adalah masalah lahan pertanian. Menurut Anton Apriantono, terdapat 5 (lima) masalah lahan di Indonesia. Dua diantaranya adalah luas kepemilikan lahan petani sempit sehingga sulit menyangga kehidupan keluarga petani, dan masih banyaknya lahan tidur (idle land). Sebagai contoh, data menunjukkan umumnya para petani Indonesia tergolong petani gurem dengan luas garapan kurang dari 1 ha. Menurut hasil sensus 1983, petani Indonesia rata-rata memiliki lahan 0,98 ha/petani. Namun, menurut sensus 2003 petani Indonesia hanya memiliki 0,7 ha/petani. Bahkan di Pulau Jawa petani hanya memiliki 0,3 ha dan luar Jawa memiliki 0,8 ha/petani (Sinar Harapan, 15 Juli 2011). Solusinya? Ada yang menggagas, agroindustri pedesaan harus dibangun untuk merasionalisasi (mengurangi) jumlah petani yang memiliki lahan sempit. Ini artinya, petani hanya dianjurkan alih profesi, sementara masalah mendasarnya sendiri tidak terselesaikan, yaitu kepemilikan lahan yang sempit. Solusi ini juga jelas tidak menggunakan syariah Islam yang sebenarnya telah mengatur bagaimana seseorang dapat memiliki lahan. Contoh lain, masalah lahan tidur. Solusinya kadang hanya dijelaskan secara global saja, misalnya dengan memanfaatkan lahan tidur untuk memberdayakan masyarakat. Padahal syariah Islam punya solusi untuk mengatasi lahan-lahan tidur yang ditelantarkan oleh pemiliknya.
Jika hukum-hukum lahan pertanian dan kebijakan pertanian diterapkan, masalah-masalah lahan di Indonesia kiranya akan dapat diselesaikan dengan tuntas. Masalah lahan yang sempit, dapat diselesaikan dengan menerapkan hukum ihya’ al-mawat. Seluruh rakyat baik Muslim maupun non-Muslim akan mendapat kesempatan memiliki tanah dengan mekanisme ihya’ al-mawat. Dengan kata lain, sistem ekonomi Islam telah menetapkan mekanisme lainnya dalam penguasaan tanah secara khusus, yaitu menghidupkan tanah mati dan pemberian oleh negara. Karena itu, hukum-hukum seputar tanah dalam pandangan Islam memiliki karakteristik yang khas dan berbeda dengan sistem ekonomi lainnya.




BAB III
KESIMPULAN

·      Ihya’ al-mawat adalah penggarapan lahan kosong yang belum diolah dan belum dimiliki seseorang untuk dijadikan lahan produktif, baik sebagai lahan pertanian maupun mendirikan bangunan.
·      Dasar hukum ihya’ al-mawat didasarkan pada hadis Nabi SAW. yang mengatakan bahwa menghidupkan lahan tidur akan mendapatkan pahala dari Allah SWT.
·      Cara-cara Ihya’ al-Mawat adalah sebagai berikut: menyuburkan, menanam, membuat pagar, dan menggali parit.
·      Obyek yang berkaitan dengan Ihya al-Mawat ialah hanya berlaku untuk tanah mati. Sedangkan tanah-tanah yang tidak mati, tidak bisa dimiliki kecuali bila tanah tersebut diberikan secara cuma-cuma oleh imam (khalifah), sebab ia tidak termasuk hal-hal yang mubah untuk semua orang, namun hanya mubah bagi imam.
·      Menurut Syekh Muhammad Ibn Qasyim al-Ghazzi, ihya’ al-mawat  hukumnya boleh. Hafidz Abdullah berpendapat barang siapa boleh memiliki harta benda, maka boleh pula untuk memiliki tanah kosong (mawat) dengan menghidupkannya. Para ulama Fiqh menyatakan bahwa jika seseorang menggarap sebidang lahan kosong yang memenuhi syarat-syaratnya, maka akibat hukumnya mencakup pemilikan lahan itu, hubungan pemerintah dengan lahan itu, dan seorang telah menggarap sebidang lahan.
·      Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa syarat-syarat ihya’ al-mawat mencakup: orang yang menggarap, lahan yang akan digarap, dan proses penggarapan.
·      Mayoritas ulama berbeda pendapat bahwa membuka lahan kosong menjadi sebab pemilikan tanah tanpa wajib diwajibkan izin dari pemerintah. Orang yang membuka lahan (tanah) baru otomatis menjadi miliknya tanpa perlu meminta izin lagi kepada pemerintah. Dan penguasa (pemerintah) berkewajiban memberikan haknya apabila terjadi persengketaan mengenai hal tersebut.
·      Dalam masalah pertanian, jika hukum-hukum lahan pertanian dan kebijakan pertanian diterapkan, masalah-masalah lahan kiranya akan dapat diselesaikan dengan tuntas. Masalah lahan yang sempit, dapat diselesaikan dengan menerapkan hukum ihya’ al-mawat.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Hafidz. Kunci Fiqih Syafi’i. Semarang: CV. Asy Syifa, 1992.
Abdullah, Shalih ibn Fauzan ibn. Al-Mulakhashu al-Fiqhi. Arab Saudi: Darl ibn al-Jauzi, 2005.
Al-Zuhaily, Wahbah. Fiqh Islam wa Adilatuh, Juz VI.  Damaskus: Darl al-Fikr, 1997.
Al-Asqalani, Al-Hafizh ibn Hajar. Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam. Indonesia: Al-Hidman, 733-852 H.
Al-Ghazzi, Syekh Muhammad ibn Qasyim. Fath al-Qarib al-Mujib. Indonesia: Dar al-Ihya al-Kitab al-Arabiah.
Al-Husaini, Imam Taqi al-Din abu Bakar ibn Muhammad. Kifayah al-Ahyar Fii hali Ghayat al-Ikhtisar. Damaskus: Darl al-Khair, 1994.
An-Nabhani, Taqyuddin. Sistem Ekonomi Islam. Bogor: Al-Azhar Press, 2009.
Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. Koleksi Hadis-Hadis Hukum. Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001.
Efendi, Bachtiar. Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah. Bandung: Alumni, 1993.
Haroen, Nasrun. Fiqh Muamalah. Gaya Media Pratama: Jakarta, 2007.
Jabal, Muaz bn. dan Al-Wahbah Al-Zuhaili, Al-Figh Al-Islami Wa Adillahtuh, Vol V. Damascus: Darnl FikT, 1989.
Mejelle, The. Article 1270. Lahore: Law Publishing Co., 1967.
Q.S. Al-Jumu’ah/62: 10.
Qudamah, Ibn. Al-Kaffi fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal. Beirut: Al-Maktabul Islami, 1988.
Sabiq, Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Fath al-Arabia, 1990.
Salendeho, John. Masalah Tanah dan Pembangunan. Jakarta: Sinar Grafika, 1993.
Uj-Haque, Zua. Landlord and Peasant in Early Islam: A Study of the Legal Doctrine of Muzaraa or Sharecropping. Islamabad: Islamic Research Institute Press, 1984.
Yahya. Kitab al-Kharaj. Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979.
Yusuf, Abu. Kitab al-Kharaj. Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979.




[1] Zua Uj-Haque, Landlord and Peasant in Early Islam: A Study of the Legal Doctrine of Muzaraa or Sharecropping, (Islamabad: Islamic Research Institute Press, 1984), p. 248.
[2] Taqyuddin An-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, (Bogor: Al-Azhar Press, 2009), h. 72.
[3] The Mejelle, Article 1270, (Lahore: Law Publishing Co., 1967), p. 207.
[4] Sayid Sabiq, Fiqh Sunnah, (Beirut: Dar al-Fath al-Arabia, 1990), h. 273.
[5] Q.S. Al-Jumu’ah/62: 10.
[6] Imam Taqi al-Din abu Bakar ibn Muhammad al-Husaini, Kifayah al-Ahyar Fii hali Ghayat al-Ikhtisar, (Damaskus: Darl al-Khair, 1994), h. 361.
[7] Al-Hafizh ibn Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram Min Adillatil Ahkam, (Indonesia: Al-Hidman, 733-852 H.), h. 195.
[8] Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2001), h. 227.
[9] Wahbah al-Zuhaily, Fiqh Islam wa Adilatuh, Juz VI,  (Damaskus: Darl al-Fikr, 1997), h. 4616.
[10] Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah, (Gaya Media Pratama: Jakarta, 2007), h. 47.
[11] An-Nabhani, Sistem, h. 73.
[12] Hafidz Abdullah, Kunci Fiqih Syafi’i, (Semarang: CV. Asy-Syifa, 1992), h. 189-190.
[13] Muaz bn Jabal, Al-Wahbah al-Zuhaili, Al-Figh Al-Islami Wa Adillahtuh, Vol V, (Damascus: Darnl FikT, 1989), p. 561.
[14] An-Nabhani, Sistem, h. 137.
[15] Ibn Qudamah, Al-Kaffi fi Fiqh al-Imam Ahmad Ibn Hanbal, (Beirut: Al-Maktabul Islami, 1988), h. 435.
[16] Al-Husaini, Kifayah, h. 361.
[17] Abdullah, Kunci, h. 189-190.
[18] Syekh Muhammad ibn Qasyim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, (Indonesia: Dar al-Ihya al-Kitab al-Arabiah, tt), h. 38.
[19] Shalih ibn Fauzan ibn Abdullah, Al-Mulakhashu al-Fiqhiy, (Arab Saudi: Darl ibn al-Jauzi, 2005), h. 152.
[20] Sabiq, Fiqh, h. 274.
[21] Yahya, Kitab al-Kharaj, (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979), h. 19.
[22] Abu Yusuf, Kitab al-Kharaj (Beirut: Dar al-Ma’arif, 1979), h. 26.
[23] John Salendeho, Masalah Tanah dan Pembangunan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1993), h. 284.
[24] Bachtiar Efendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1993), h. 40.
[25] Bachtiar Efendi, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, (Bandung: Alumni, 1993), h. 40.

1 komentar: